Senin, 11 Januari 2010

Jerit Hati

Hhh...tatapan itu lagi. Tak bisakah mereka berhenti mengusikku dengan tatapan itu? Kadang tatapan iba. Lebih sering berupa celaan. Selalu dan selalu diikuti bisik-bisik tak sedap.
Kutatap bocah kecil ini. Bocah yang telah menemani kesendirianku setahun terakhir. Maafkan ibu Nak, selalu menatapmu dengan tatapan prihatin. Entah bagaimana masa depanmu nanti. Syukur kau terlahir sebagai seorang laki-laki. Coba kalau kau wanita. Kau akan mendapat cap yang sama denganku. Entah bagaimana aku akan menikahkanmu kelak.
Pria yang sering kau tanyakan sebagai ayahmu? Mana dia peduli! Ia telah hidup tenang dengan keluarganya. Boro-boro kau mengharap ia akan mendekapmu erat penuh kasih sayang. Atau membelikanmu es potong. Menyapa kita pun tidak, Nak. Seolah tak pernah terjadi apa-apa antara aku dan dia.
Aku yang salah. Aku yang bodoh. Begitu gampangnya termakan rayuan pria beristri itu. Ketika perutku membuncit ia lepas tangan. Keluarganya pun seolah menutup mata. Istrinya matia-matian menghinaku. Aku sungguh menyesal. Kasihan sekali bapak ibu. Tak pernah kusangka akan membuat mereka malu demikian rupa.

Tatapan itu lagi. Bisik-bisik itu lagi. Entah sampai kapan. Kau pun harus menanggungnya anakku. Maafkan ibu...


*saat hujan di ulu talo*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar