Selasa, 29 Desember 2009

Optimis Lagi

Bengkulu, 3 Juni 2009

Alhamdulillah. Segala puji hanya bagi Allah. Esok ternyata memang lebih cerah. Matahari yang baru saja terbit memancarkan sinar hangatnya ke seantero Desa Hargo Binangun. Hatiku kembali hangat. Apalagi saat mengetahui bahwa ternyata memang ada angkot/mobil tambangan jurusan Ulu Talo-Kota Bengkulu yang melintas di depan Puskesmas setiap pukul 7 pagi. "Hmm... berarti tempat ini tidak terlalu terpencil", begitu pikirku menghibur diri.
Bermodalkan perut kosong dan badan yang belum diguyur air (baca: belum mandi :p), aku dan suami berangkat ke Bengkulu dengan menumpang angkot pertama yang melintas. Tujuan kami ke Bengkulu utamanya ingin membeli berbagai perlengkapan mendasar yang diperlukan untuk menjalani hidup satu tahun di tempat terpencil dan tak berlistrik seperti Ulu Talo. Genset, pompa air, pipa, selang, kabel, peralatan memasak (kompor dan teman-temannya), ember besar penampung air, ember kecil, serta pernak-pernik lainnya sudah masuk dalam daftar belanjaan hari itu.
Perjalanan ke Bengkulu ditempuh dalam waktu 3 jam. Satu jam pertama kami harus melewati jalanan rusak yang nyaris tidak pernah diperbaiki sejak pertama kali dibangun 20an tahun yang lalu. Melelahkan. Hamdallah, akhirnya sampai juga di jalan raya Seluma-Bengkulu. Setidaknya tidak tersiksa lagi oleh guncangan mobil akibat jalan rusak tersebut.
Pukul 10.00 kami telah memasuki kota Bengkulu. Pak supir yang baik hati mengantar kami ke Pasar Panorama di Lingkar Timur. Rencananya kami akan kembali ke Ulu Talo hari itu juga dengan menumpang angkot yang sama. Yak, berarti harus gerak cepat. Kami hanya punya waktu 3 jam untuk menyelesaikan segela urusan, termasuk mengetik berbagai berkas yang harus kuserahkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Seluma beberapa hari kemudian. Kami berbagi tugas. Suami bertugas membeli barang-barang yang ada di daftar belanjaan, sementara aku harus mencari rental komputer/warnet terdekat. Huff... berpanas-panasan di jalanan pasar Panorama sungguh melelahkan dan membuat kesal, apalagi saat warnet pertama dan kedua yang kudatangi tidak mempunyai fasilitas printer atau penuh oleh anak-anak usia sekolah yang asyik bermain game online. Hampir putus asa, hamdallah akhirnya ada juga komputer nganggur di salah satu warnet, dan bisa print. Itu yang penting!
Setelah hampir 2 jam berkutat dengan tuts-tuts komputer dan dengan sukses mencetak berkas-berkas tersebut, bersegera aku mencari dimana gerangan si Mas berada. Mondar-mandir beberapa saat, akhirnya kutemukan suami tercinta di salah satu toko. Masih sibuk dengan daftar belanjaannya. Terlihat lelah. Kasihan...Huff... Udara masih sangat panas, sementara aku masih harus mencari barang-barang yang belum terbeli.
Pukul 14.00 kurang sedikit, kami telah selesai berbelanja. Barang-barang telah dimuat ke mobil dan siap berangkat kembali ke Ulu Talo. Sepanjang perjalanan kami tertidur kelelahan. Tak terusik oleh udara panas dan rasa lengket di badan. Sekitar pukul 17 akhirnya kami sampai juga di rumah. Sebentar saja melepas lelah, aku sudah harus ke warung atas mencari bahan-bahan yang kira-kira bisa dimasak. Kalau tidak masak, ya tidak makan. Mana ada warung makan di Ulu Talo :)
Menjelang magrib, jadilah masakan pertamaku di ranah PTT ini; teri dan kentang balado serta sayur kol yang diuap di atas tanakan nasi. Sederhana tapi nikmat. Hamdallah... Mulai saat itu aku sudah bisa tersenyum lega dan optimis menjalankan pengabdian. Malah di kemudian hari aku sangat bersyukur Allah menempatkanku di sini. Di Ulu Talo. Semoga Allah memudahkan segalanya. Amin.

Gamang

Bengkulu, 2 Juni 2009

Awan bergelayut malas di langit Ulu Talo ketika kami menginjakkan kaki pertama kali di kawasan yang dikelilingi bukit barisan itu. matahari malu-malu menampakkan sinarnya yang benderang. Mendung... Hatiku turut mendung. Apalagi ketika menangkap suasana sepi yang melingkupi kompleks Puskesmas dan rumah-rumah dinas dokter dan paramedis. Tidak terlihat satupun rumah penduduk dari tempat kami berdiri.
Gamang. Kami mengikuti langkah-langkah cepat para petugas dari Dinas Kesehatan Kabupaten Seluma yang mengantar rombongan kecil kami; dokter gigi PTT, aku sendiri sebagai dokter PTT, dan suamiku. Aura sunyi yang tadi mencekam seketika buyar ketika kami disambut oleh Kepala Puskesmas Ulu Talo, lelaki 40an tahun berbadan gempal dan bersuara besar dengan aksen Batak yang kental. Tumpak Damanik namanya. Beliau langsung memperkenalkan kami pada staf Puskesmas lainnya.
Setelah memberikan sedikit pengarahan sang Kapuskes mengantar kami melihat-lihat rumah dinas yang akan kami tempati. Rumah dinas dokter dan paramedis terletak tepat di belakang gedung  Puskesmas. Aku dipersilakan menempati rumah dinas bidan yang kebetulan tidak ditempati oleh bidan desa Hargo Binangun, desa dimana Puskesmas Kecamatan Ulu Talo berada. Rumah dinas bidan itu terletak di tengah, diapit rumah dinas dokter dan rumah dinas perawat. Terlihat kusam dan semrawut karena lama tak ditempati. Rumput dan ilalang tumbuh subur di pekarangan kiri kanan rumah. Sementara halaman belakang rumah penuh dengan pepohonan kecil dan belukar. Keadaan di dalam rumah tak kalah menyedihkannya. Lantai kotor penuh dengan kotoran serangga dan sarang laba-laba menempel di berbagai penjuru langit-langit. Sepanjang siang itu kami mulai sibuk membersihkan rumah hingga layak untuk ditempati, setidaknya untuk 1 malam saja.
Senja merayap lambat. Matahari berlalu tanpa menyisakan sedikitpun cahayanya. Aku semakin gamang. Tidak ada listrik.  Gelap gulita dan sunyi di Hargo Binangun. Hanya terdengar suara binatang malam bersahut-sahutan, yang di kemudian hari dijuluki ibu mertua "Oskestra Alam". Gamangku akhirnya tumpah di dada suami, ditemani buting-butir bening yang mengalir pelan di pipiku. Ya... Membayangkan harus hidup di tempat itu setahun ke depan, tangisku tak lagi terbendung. Kutanya hatiku, apakah benar ini yang kuinginkan? Ia tak berani menjawab.
Aku lelah. Kubiarkan hatiku menumpahkan rasa pada belahan jiwa yang tak akan kemana, setidaknya untuk saat itu. Batinku terlalu lelah untuk mencerna argumen-argumen yang dikemukakan logikaku agar aku komitmen dengan keputusan ini. Untuk saat itu biarlah hatiku mengadu. Sambil berharap, esok akan lebih cerah. Esok akan lebih kuat.

Senin, 09 Maret 2009

Perjalanan ke Sangkima, Ustadz dan Ikhlas

Sangatta, 7 Februari 2009

Alhamdulillah suami libur ahad ini, tidak seperti kemaren, aku harus rela ditinggal seharian gara-gara si truk haul berulah lagi. Paginya kami membuat rencana apa saja yang akan dilakukan untuk mengisi akhir pekan yang cerah itu. Salah satu rencana utama adalah berkunjung ke DPD PKS, selain untuk bersilaturahmi  juga untuk mencari kelompok mengaji untukku dan suami. Kami memutuskan untuk berkunjung ke DPD setelah makan siang.

Saat keluar hotel ba’da zhuhur, sinar matahari sungguh panas menyengat dan debu beterbangan menggelitiki mata dan hidung. Bukan situasi yang menyenangkan untuk bepergian. Sempat terjadi tukar pendapat antara aku dan suami. Mau makan dimana? Rumah makan Padang dekat hotel atau restoran Padang dekat DPD? Bosan dengan menu biasa sekitar hotel kami bersepakat pada pilihan kedua.

Perjalanan ke restoran Padang yang dituju kami tempuh dengan ‘taksi’ (sebutan untuk angkutan umum di Sangatta). Ketika melewati DPD suamiku tiba-tiba berkata “Apa sekarang saja ke DPDnya, mumpung lagi ada orang. Daripada nanti, sepi lagi”. Sebelumnya sudah 2 kali kami ke DPD namun saat itu DPD selalu terlihat sepi. Selidik punya selidik ternyata setiap akhir pekan selalu ada acara partai di tempat lain, mukhayyam (berkemah) ikhwan, bedah buku, direct selling, taujih, dll. Entah kenapa aku iyakan saja ajakan suami untuk mampir dulu ke DPD dan bukannya makan dulu, padahal perut sudah mulai keroncongan.

Begitu sampai, di atas pintu masuk kantor DPD terpampang tulisan “Markas Dakwah”. Di kanan pintu masuk terdapat tumpukan baliho dan sebelah kiri berdiri tegak sebuah spanduk besar berisi gambar caleg dan berbagai kegiatan PKS. Saat itu di ruang depan ada 4 orang ikhwan dan seorang akhwat. Sementara suami berbincang dengan para ikhwan, aku mendekati akhwat tadi, memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangan kami. Setelah mencatat nomor kontak guru mengajiku di Jakarta, beliau berjanji untuk segera mencarikan kelompok baru untukku.

Aku kembali duduk dekat suami yang masih berbincang dengan para ikhwan. Tiba-tiba seseorang masuk dan mengucapkan salam. Dari suami aku tahu bahwa beliau adalah Ustazd Ardiansyah, seorang angggota DPRD. Ustazd Ardiansyah sepertinya mengenal wajah suamiku walaupun tidak ingat nama. Maklum, sebelum menikah suami pernah lama juga di Sangatta dan ikut kegiatan DPD. Ustazd berperawakan kecil itu bercerita bahwa beliau sedang bingung. Ada seorang simpatisan yang sedang sakit tapi tidak mampu berobat. Beliau bermaksud membawa dokter atau minimal perawat untuk memeriksa kondisi simpatisan tersebut. Apakah perlu dirawat atau cukup dengan minum obat saja. Namun sayangnya tidak ada dokter, dan perawat yang diharapkan baru selesai dinas di RS sore hari. Kalau tidak ada juga, terpaksa beliau berangkat tanpa didampingi petugas kesehatan. Spontan suami menawarkan “Mungkin istri ana bisa ustazd, kebetulan dokter juga”. Gayung pun bersambut, dengan antusias Ustazd menyambut tawaran suami.

Aku sempat melirik suami, mengingatkan bahwa kami belum makan siang dan perutku sudah mulai keroncongan. Ketika mampir ke hotel untuk mengambil peralatan dokterku suami sempat minta maaf karena tidak minta persetujuanku terlebih dahulu. Aku pura-pura sewot, ujung-ujungnya minta dibelikan es krim sepulangnya nanti J. Bismillah, kami berangkat dengan perut kosong. Bantu kami untuk ikhlas ya Allah. Tempatnya sepertinya tidak jauh, arah ke Pertamina, sebuah desa bernama Sangkima. Kalau arah ke Pertamina berarti tidak terlalu jauh dari hotel, begitu pikirku. Belakangan baru aku sadar bahwa dugaanku salah.

Kami berempat, aku, suami, seorang ikhwan dari dpd dan ustazd Ardiansyah berangkat dengan mobil 4 WD yang dikendarai sendiri oleh anggota dprd ini. Setengah jam pertama perjalanan lancar. Jalanan yang kami lewati walaupun tidak bisa dibilang mulus masih bisa dilalui dengan nyaman apalagi ketika memasuki komplek Pertamina. Jalan aspal yang mulus, pohon di kiri kanan jalan, perumahan kayu yang eksotik seolah memperjelas bahwa kami sudah memasuki daerah yang dulunya kawasan elit Sangatta. Akan tetapi perjalanan sebenarnya baru dimulai selepas dari Komplek Pertamina. Jalan beraspal mulai berganti jalan tanah yang berbatu. Kiri kanan jalan cuma ada semak dan pepohonan. Hanya sesekali saja kami melihat rumah penduduk. Lama-kelamaan tidak terlihat lagi rumah penduduk. “Wah, begini ternyata yang namanya daerah terisolir, kok bisa ya ada orang yang tinggal di tempat yang sangat terisolir seperti ini”, begitu pikirku. Setengah jam sebelumnya padahal kami masih melewati daerah perumahan yang cukup ramai di komplek Pertamina.

Semakin jauh jalan semakin jelek dan mengecil. Berkali-kali kami dihadang oleh jalan tanah yang berlobang dan berbatu yang membuat mobil bergoyang tak karuan. Beberapa kali aku harus mengencangkan peganganku takut kalau-kalau mobil terbalik ketika melewati lubang yang sangat dalam dan batu yang terjal. Ustadz dengan semangat terus memacu kendarannya. Aku sungguh kagum. Rasanya baru sekali itu aku melihat seorang anggota dewan menyetir sendiri kendaraannya melewati jalanan berliku demi seorang simpatisan yang sedang kesusahan. Dan tidak tanggung-tanggung aktivitas ini memakan waktu libur beliau hampir seharian. Padahal kalau mau beliau bisa saja menyuruh orang lain untuk mengantar kami. Di sepanjang jalan ketika berpapasan dengan penduduk atau pengendara lain beliau selalu memperlambat laju kendaraan, membuka kaca jendela dan mengucap salam, baik kenal maupun tidak.

Akhirnya, setelah melewati jalanan berbatu itu kami sampai juga di desa Sangkima. Di sepanjang desa sangkima mengalir sebuah sungai yang tidak terlalu besar dan berair coklat. Konon katanya dulu banyak sekali buaya pemakan manusia di sungai itu. Sekarang jumlahnya sudah jauh berkurang, namun belakangan masih saja ada manusia yang jadi korban. Jadi penasaran juga. Sayangnya walaupun berkali-kali mataku menyusuri sungai tidak terlihat seekor pun buaya.

Turun dari mobil, kami masih harus berjalan kaki beberapa ratus meter melalui jalan setapak untuk mencapai rumah simpatisan yang sakit. Begitu sampai di rumah yang dimaksud, penghuni rumah menyambut kami dengan antusias. Tanpa menunda lagi aku langsung memperkenalkan diri pada pasien dan keluarga dan melakukan anamnesis serta pemeriksaan fisik. Semua orang menanti dengan sabar. Setelah beberapa lama aku menyimpulkan penyakit yang diderita dan menjanjikan akan membelikan mengirim obat untuk pasien. Tapi bagaimana cara mengirim obat nantinya? Perjalanan dari Sangatta ke Sangkima tidaklah mudah. Ikhwan dari DPD yang ikut bersama kami tanpa ragu menawarkan diri untuk mengantar obatnya dari Sangatta.

Setelah berbincang-bincang dan menikmati sajian tuan rumah kami pamit untuk kembali ke Sangatta. Sepanjang perjalanan pulang aku terus merenung. Banyak sekali hikmah yang kuperoleh. Pertama, jika kita ikhlas beramal karena Allah, sungguh Allah akan memberi pertolongan dari arah yang tiada di sangka-sangka. Seperti yang dialami Ust Ardiansyah. Ketika beliau kebingungan mencari dokter Allah memberi pertolongan lewat diriku. Allah-lah yang membuat kami memutuskan untuk makan di restoran Padang dekat DPD. Allah-lah yang menggerakan kami untuk mampir dulu ke DPD. Dan Allah-lah yang berkuasa sehingga pada kunjungan ketigalah kami ‘berhasil’ silaturahmi ke DPD dan bertemu Ustadz Ardiansyah.

Aku dan suami juga banyak belajar dari semangat beramal kedua orang yang menyertai kami pada hari itu. Belakangan aku tahu bahwa obat untuk pasien yang kubeli di Sangatta, malam itu juga dihantarkan langsung ke Sangkima. Dengan mengendarai motor, ikhwan itu menerobos udara malam dan melalui jalan berbatu yang kami lalui sebelumnya. Bahkan sempat terperosok lubang. Sedangkan Ustadz, begitu sampai kembali si Sangatta sudah harus bergerak lagi memenuhi janji lain. Subhanallah… Hari itu aku serasa disentil dan diingatkan tentang arti ukhuwah sebenarnya serta semangat dan keikhlasan beramal yang sejati.

 

The Secret Garden

Rating:★★★★★
Category:Movies
Genre: Drama
Film ini adalah salah satu film yang paling berkesan buatku. Berlatar suatu daerah di Inggris pada masa sekitar abad 19, film ini bercerita tentang seorang gadis yang kehilangan keriangan masa kecilnya. Ia jarang sekali merasakan kasih sayang kedua orangtuanya. Ayah sibuk bekerja, sedangkan ibu sibuk dengan aktivitas sosialnya. Hal ini membuat ia merasa tidak diinginkan, namun ia tidak pernah menangis. Ia telah membunuh perasaannya sendiri. Bahkan saat kedua orangtuanya meninggal dunia akibat gempa bumi, tidak setetes air matapun mengalir di pipinya.

Ia, yang baru berusia 10 tahun, tidak memiliki keluarga lain selain suami dari bibinya, dengan kata lain pamannya. Bibi si gadis yang merupakan saudara kembar identik ibunya telah meninggal dunia 10 tahun yang lalu. Jadilah gadis kecil ini harus tinggal dengan paman yang tidak punya pertalian darah dengannya itu. Sang paman ini adalah seorang lord yang kaya raya namun sangat kesepian, dijuluki Lord Craven. Tinggal di kastil dengan seratus kamar dan berpuluh pelayan, tetap saja rasa kesepian sang paman begitu kental terasa.
Setelah beberapa hari tinggal di kastil si paman, gadis ini belum juga berkesempatan berjumpa dengan paman yang tidak dikenalnya. Sehari-hari ia hanya bertemu dengan kepala pelayan yang kelihatan tidak terlalu suka dengannya dan seorang gadis pelayan yang ditugaskan untuk melayaninya. Lord Craven sangat jarang berada di rumah, selalu bepergian. Saat berada di rumah, jika ada kejadian yang membuatnya gusar Lord Craven langsung pergi jauh dari kastilnya. Berbagai peristiwa buruk dan tumbuhnya benjolan di tulang punggung sang paman membuat timbulnya desas-desus kalau sang paman dikutuk.

Banyak hal berbau rahasia yang satu persatu mulai diketahui oleh si gadis. Suatu hari secara tidak sengaja gadis ini memasuki sebuah kamar yang sudah tidak lama dihuni. Ternyata kamar itu adalah kamar bibinya yang telah lama meninggal. Di kamar tersebut ia menemukan banyak sekali benda-benda yang berisi kenangan akan bibinya. Ia juga menemukan sebuah kunci yang menghantarnya pada rahasia lain. Kunci itu adalah kunci pagar sebuah taman yang sudah bertahun-tahun ditinggalkan. Ternyata taman itu dulunya adalah taman favorit bibinya. Menurut pengurus taman sekitar kastil, bibinya sangat suka menghabiskan waktu dan bermain ayunan di taman tersebut. Suatu ketika terjadi peristiwa tragis. Sang bibi jatuh dari ayunan dan meninggal dunia. Sang paman sangat berduka sehingga memerintahkan taman itu untuk ditutup selama-lamanya. Bersama dengan seorang bocah lelaki, adik dari gadis pelayan yang melayaninya sehari-hari, si gadis merawat kembali taman tersebut dan menanam berbagai tanaman. Mereka menamakannya The Secret Garden. Bagi mereka hanya mereka yang tahu akan keberadaan taman tersebut.

Rahasia tidak berhenti sampai di situ. Setiap malam si gadis sering kali mendengar suara tangisan. Tangisan itu begitu menyayat hati, sehingga si gadis memberanikan diri mencari asal suara tersebut. Pencariannya berakhir di sebuah ruangan besar yang tertutup. Di sana, ia melihat seorang bocah lelaki seumuran dengannya. Pucat, kesepian, cengeng dan manja. Itulah kesan pertama yang didapat dari bocah lelaki tersebut. Bocah itu ternyata adalah anak pamannya, sepupu yang tidak pernah diketahuinya ada. Bocah itu menangis karena tidak bisa tidur dan ingin sekali bertemu dengan ayahnya. Keberadaan bocah itu disembunyikan semua pelayan di kastil karena ia sakit, lumpuh dan diramal akan tumbuh benjolan di punggung seperti ayahnya. Sehari-hari, bocah lelaki menghabiskan waktunya di kamar itu. Ayahnya tidak mau menemuinya karena takut akan mencintainya. Lord Craven takut jika ia mencintai bocah itu ia akan kembali mengalami kehilangan yang sama, seperti saat ia kehilangan istrinya. Semua orang menganggap bocah itu tidak akan berumur panjang karena penyakitnya. Akan tetapi secara rahasia, di tengah malam, saat semua orang sudah tertidur Lord akan mendatangi kamar putranya tersebut. Hanya memandang penuh cinta dan menangis pilu. Tak berani menyentuh putranya sedikit pun. Sungguh mengharukan. Besarnya cinta terhadap sang istri sungguh membuat Lord dan putranya menderita.

Gadis dan bocah lelaki itu akhirnya bersahabat. Si bocah lelaki sangat senang akan kehadiran sepupunya itu. Si gadis sering menemui sepupunya itu dan bermain dengannya secara diam-diam karena takut ketahuan kepala pelayan yang sangat protektif terhadap anak majikannya. Suatu hari, kepala pelayan yang galak itu sedang pergi jauh. Melihat hal itu sebagai sebuah kesempatan, si gadis meyakinkan sepupunya kalau ia tidak benar-benar sakit dan memaksa bocah lelaki berkulit pucat itu untuk bangkit. Bersama adik lelaki pelayan perempuannya, si gadis membongkar paksa jendela kamar yang selama ini tertutup rapat dengan papan. Serta merta sinar matahari masuk dan menerangi seluruh kamar. Mereka juga membawa bocah lelaki penyakitan itu ke taman rahasia. Bocah lelaki itu begitu takjub melihat taman yang dulunya sangat disukai ibunya. Di sana, ia dan dua teman barunya bermain dengan gembira dan di sanalah pertama kalinya ia bisa berdiri dengan dua kakinya.

Hari demi hari, taman itu semakin indah. Ketika musim semi tiba, bunga-bunga bermekaran dan burung-burung berkicau riang. Bocah lelaki semakin mahir berjalan dan berlari layaknya anak normal. Ia bertekad merahasiakan keadaannya yang sekarang karena berharap ayahnyalah yang pertama kali melihatnya berjalan. Bocah lelaki sangat ingin dan rindu bertemu ayahnya. Sebagai bocah yang masih kekanakan, mereka memainkan suatu ritual sambil berdoa memanggil sang ayah agar segera datang.

Sementara itu, di suatu tempat nun jauh di sana, Lord Craven bermimpi. Di mimpinya itu ia bertemu dengan istrinya. Ketika ia mendekat, bayangan istrinya menghilang. Ia berteriak memanggil-manggil dimana istrinya itu. Sayup-sayur terdengar istrinya berkata “I’m here... In the garden”. Lord Craven tersentak dari mimpinya. Ia sangat gusar. Ia memerintahkan kusir kereta untuk segera mengantarnya pulang. Tiba-tiba ia menjadi sangat ingin bertemu dengan putra yang selama ini ia coba sisihkan dari hidupnya.

Semua pelayan terkejut dengan kepulangan Lord Craven. Mereka tidak menyangka sang majikan akan pulang secepat itu. Serta-merta Lord Craven menanyakan dimana anaknya dan bergegas menuju kamar putranya. Lord semakin gusar, ia tidak berhasil menemukan anaknya. Ia berlari menuju taman rahasia. Disana ia tertegun. Ia melihat anaknya bisa berdiri, bahkan berjalan! Semua duka karena kehilangan istri dan kekhawatiran kehilangan putra yang menggelayuti selama sepuluh tahun seolah sirna, berganti harapan dan cinta. Kedua ayah dan anak itu langsung berpelukan. Mendung di hati Lord Craven telah berlalu. Bocah lelaki mendapatkan kembali kasih sayang ayahnya. Sedang gadis kecil yang telah membantu mewujudkan semua kebahagiaan itu, ia mendapatkan cinta dari keluarga baru (paman dan sepupunya), rumah, sahabat dan tentu saja, the secret garden...

Film ini sungguh mengharukan. Cinta Lord Craven yang begitu besar terhadap istrinya mengingatkanku akan cinta serupa yang melatarbelakangi berdirinya Tajmahal. Bedanya, Lord Craven begitu menggantungkan diri pada cinta itu. Bukannya membangun, cinta itu malah merusak. Tidak hanya dirinya, namun juga putra satu-satunya. Sedangkan bagi seorang muslim, tidak boleh ada cinta yang melebihi cinta terhadap Sang Khalik. Kalaupun harus mencintai seorang makhluk, maka cintailah ia karena kecintaan kepada Yang Menciptakannya, dan ucapkanlah “uhibbukum fiLlah, mencintaimu karena Allah”. Wallahua’lam

The Secret Garden

Rating:★★★★★
Category:Movies
Genre: Drama
Film ini adalah salah satu film yang paling berkesan buatku. Berlatar suatu daerah di Inggris pada masa sekitar abad 19, film ini bercerita tentang seorang gadis yang kehilangan keriangan masa kecilnya. Ia jarang sekali merasakan kasih sayang kedua orangtuanya. Ayah sibuk bekerja, sedangkan ibu sibuk dengan aktivitas sosialnya. Hal ini membuat ia merasa tidak diinginkan, namun ia tidak pernah menangis. Ia telah membunuh perasaannya sendiri. Bahkan saat kedua orangtuanya meninggal dunia akibat gempa bumi, tidak setetes air matapun mengalir di pipinya.

Ia, yang baru berusia 10 tahun, tidak memiliki keluarga lain selain suami dari bibinya, dengan kata lain pamannya. Bibi si gadis yang merupakan saudara kembar identik ibunya telah meninggal dunia 10 tahun yang lalu. Jadilah gadis kecil ini harus tinggal dengan paman yang tidak punya pertalian darah dengannya itu. Sang paman ini adalah seorang lord yang kaya raya namun sangat kesepian, dijuluki Lord Craven. Tinggal di kastil dengan seratus kamar dan berpuluh pelayan, tetap saja rasa kesepian sang paman begitu kental terasa.
Setelah beberapa hari tinggal di kastil si paman, gadis ini belum juga berkesempatan berjumpa dengan paman yang tidak dikenalnya. Sehari-hari ia hanya bertemu dengan kepala pelayan yang kelihatan tidak terlalu suka dengannya dan seorang gadis pelayan yang ditugaskan untuk melayaninya. Lord Craven sangat jarang berada di rumah, selalu bepergian. Saat berada di rumah, jika ada kejadian yang membuatnya gusar Lord Craven langsung pergi jauh dari kastilnya. Berbagai peristiwa buruk dan tumbuhnya benjolan di tulang punggung sang paman membuat timbulnya desas-desus kalau sang paman dikutuk.

Banyak hal berbau rahasia yang satu persatu mulai diketahui oleh si gadis. Suatu hari secara tidak sengaja gadis ini memasuki sebuah kamar yang sudah tidak lama dihuni. Ternyata kamar itu adalah kamar bibinya yang telah lama meninggal. Di kamar tersebut ia menemukan banyak sekali benda-benda yang berisi kenangan akan bibinya. Ia juga menemukan sebuah kunci yang menghantarnya pada rahasia lain. Kunci itu adalah kunci pagar sebuah taman yang sudah bertahun-tahun ditinggalkan. Ternyata taman itu dulunya adalah taman favorit bibinya. Menurut pengurus taman sekitar kastil, bibinya sangat suka menghabiskan waktu dan bermain ayunan di taman tersebut. Suatu ketika terjadi peristiwa tragis. Sang bibi jatuh dari ayunan dan meninggal dunia. Sang paman sangat berduka sehingga memerintahkan taman itu untuk ditutup selama-lamanya. Bersama dengan seorang bocah lelaki, adik dari gadis pelayan yang melayaninya sehari-hari, si gadis merawat kembali taman tersebut dan menanam berbagai tanaman. Mereka menamakannya The Secret Garden. Bagi mereka hanya mereka yang tahu akan keberadaan taman tersebut.

Rahasia tidak berhenti sampai di situ. Setiap malam si gadis sering kali mendengar suara tangisan. Tangisan itu begitu menyayat hati, sehingga si gadis memberanikan diri mencari asal suara tersebut. Pencariannya berakhir di sebuah ruangan besar yang tertutup. Di sana, ia melihat seorang bocah lelaki seumuran dengannya. Pucat, kesepian, cengeng dan manja. Itulah kesan pertama yang didapat dari bocah lelaki tersebut. Bocah itu ternyata adalah anak pamannya, sepupu yang tidak pernah diketahuinya ada. Bocah itu menangis karena tidak bisa tidur dan ingin sekali bertemu dengan ayahnya. Keberadaan bocah itu disembunyikan semua pelayan di kastil karena ia sakit, lumpuh dan diramal akan tumbuh benjolan di punggung seperti ayahnya. Sehari-hari, bocah lelaki menghabiskan waktunya di kamar itu. Ayahnya tidak mau menemuinya karena takut akan mencintainya. Lord Craven takut jika ia mencintai bocah itu ia akan kembali mengalami kehilangan yang sama, seperti saat ia kehilangan istrinya. Semua orang menganggap bocah itu tidak akan berumur panjang karena penyakitnya. Akan tetapi secara rahasia, di tengah malam, saat semua orang sudah tertidur Lord akan mendatangi kamar putranya tersebut. Hanya memandang penuh cinta dan menangis pilu. Tak berani menyentuh putranya sedikit pun. Sungguh mengharukan. Besarnya cinta terhadap sang istri sungguh membuat Lord dan putranya menderita.

Gadis dan bocah lelaki itu akhirnya bersahabat. Si bocah lelaki sangat senang akan kehadiran sepupunya itu. Si gadis sering menemui sepupunya itu dan bermain dengannya secara diam-diam karena takut ketahuan kepala pelayan yang sangat protektif terhadap anak majikannya. Suatu hari, kepala pelayan yang galak itu sedang pergi jauh. Melihat hal itu sebagai sebuah kesempatan, si gadis meyakinkan sepupunya kalau ia tidak benar-benar sakit dan memaksa bocah lelaki berkulit pucat itu untuk bangkit. Bersama adik lelaki pelayan perempuannya, si gadis membongkar paksa jendela kamar yang selama ini tertutup rapat dengan papan. Serta merta sinar matahari masuk dan menerangi seluruh kamar. Mereka juga membawa bocah lelaki penyakitan itu ke taman rahasia. Bocah lelaki itu begitu takjub melihat taman yang dulunya sangat disukai ibunya. Di sana, ia dan dua teman barunya bermain dengan gembira dan di sanalah pertama kalinya ia bisa berdiri dengan dua kakinya.

Hari demi hari, taman itu semakin indah. Ketika musim semi tiba, bunga-bunga bermekaran dan burung-burung berkicau riang. Bocah lelaki semakin mahir berjalan dan berlari layaknya anak normal. Ia bertekad merahasiakan keadaannya yang sekarang karena berharap ayahnyalah yang pertama kali melihatnya berjalan. Bocah lelaki sangat ingin dan rindu bertemu ayahnya. Sebagai bocah yang masih kekanakan, mereka memainkan suatu ritual sambil berdoa memanggil sang ayah agar segera datang.

Sementara itu, di suatu tempat nun jauh di sana, Lord Craven bermimpi. Di mimpinya itu ia bertemu dengan istrinya. Ketika ia mendekat, bayangan istrinya menghilang. Ia berteriak memanggil-manggil dimana istrinya itu. Sayup-sayur terdengar istrinya berkata “I’m here... In the garden”. Lord Craven tersentak dari mimpinya. Ia sangat gusar. Ia memerintahkan kusir kereta untuk segera mengantarnya pulang. Tiba-tiba ia menjadi sangat ingin bertemu dengan putra yang selama ini ia coba sisihkan dari hidupnya.

Semua pelayan terkejut dengan kepulangan Lord Craven. Mereka tidak menyangka sang majikan akan pulang secepat itu. Serta-merta Lord Craven menanyakan dimana anaknya dan bergegas menuju kamar putranya. Lord semakin gusar, ia tidak berhasil menemukan anaknya. Ia berlari menuju taman rahasia. Disana ia tertegun. Ia melihat anaknya bisa berdiri, bahkan berjalan! Semua duka karena kehilangan istri dan kekhawatiran kehilangan putra yang menggelayuti selama sepuluh tahun seolah sirna, berganti harapan dan cinta. Kedua ayah dan anak itu langsung berpelukan. Mendung di hati Lord Craven telah berlalu. Bocah lelaki mendapatkan kembali kasih sayang ayahnya. Sedang gadis kecil yang telah membantu mewujudkan semua kebahagiaan itu, ia mendapatkan cinta dari keluarga baru (paman dan sepupunya), rumah, sahabat dan tentu saja, the secret garden...

Film ini sungguh mengharukan. Cinta Lord Craven yang begitu besar terhadap istrinya mengingatkanku akan cinta serupa yang melatarbelakangi berdirinya Tajmahal. Bedanya, Lord Craven begitu menggantungkan diri pada cinta itu. Bukannya membangun, cinta itu malah merusak. Tidak hanya dirinya, namun juga putra satu-satunya. Sedangkan bagi seorang muslim, tidak boleh ada cinta yang melebihi cinta terhadap Sang Khalik. Kalaupun harus mencintai seorang makhluk, maka cintailah ia karena kecintaan kepada Yang Menciptakannya, dan ucapkanlah “uhibbukum fiLlah, mencintaimu karena Allah”. Wallahua’lam

Selasa, 03 Maret 2009

Sangatta

Sudah lebih sebulan ewie ikut Mas dinas di Sangatta. Sangatta adalah sebuah kecamatan yang menjadi ibukota Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Di kecamatan dengan jumlah penduduk tak lebih dari 100.000 jiwa inilah terdapat penambangan batubara terbesar di Indonesia yang dikelola PT. Kaltim Prima Coal (KPC). Sebenarnya ini bukan kali pertama, sebelumnya sudah dua kali Ewie menginjakkan kaki di kota dengan semboyan "Sangatta Kota Tercinta" ini (agak sewot juga waktu baca semboyan ini, karena 'kampuang' yang kusayangi sudah dari dulu memakai semboyan yang sama: Padang Kota Tercinta). Hanya saja kali ketiga ini ewie tidak sekedar singgah tapi tinggal selama hampir 3 bulan (rencananya).

Seperti sebelum-sebelumnya, kami tinggal di Hotel Kutai Permai yang berlokasi di daerah Sangatta Lama. Fasilitas hotel lumayan memuaskan untuk ukuran Sangatta; kamar mandi di dalam, AC, TV kabel, internet 24 jam, laundry service, dan sarapan yang disajikan prasmanan. Sebenarnya Hotel Kutai Permai ini bukanlah yang paling bagus di Sangatta, tapi rasanya hotel inilah yang paling tinggi tingkat huniannya dan paling sering dipakai untuk kegiatan pelatihan diantara hotel-hotel lain di Sangatta. Padahal lokasinya tidaklah strategis. Mungkin karena tarif yang lebih murah, fasilitas yang lumayan, karyawan dan pegawai yang ramah dan bersahabat serta lobi yang luas dengan hot spot wireless. 

Pekan ini, pekan ke-tujuh Ewie dan Mas tinggal di hotel. Tanpa disadari Ewie sudah hapal betul jadwal room boy/girl "mengetuk" pintu kamar. Ketika pintu mulai diketuk dan terdengar seruan "room boy" dari depan pintu, Ewie sudah siap sedia dengan pakaian menutup aurat dan jilbab bergo. Ketukan pertama biasanya pada pukul 8.30-9.30. "Tok tok. Laundry...". Nah mbak-mbak yang menangani urusan cucian tamu hotel sudah datang menjemput pakaian kotor. Khusus kamar 222, kamar Ewie dan Mas, ada 2 orang yang tugas bergantian. Ketokan kedua akan kembali terdengar pada pukul 10.00-11.00. Kali ini yang mengetuk adalah room boy yang bertugas membersihkan kamar. Biasanya mas room boy akan berkata "Kamarnya mau dibersihkan Buk". Awalnya Ewie bingung, ini pertanyaan apa pemberitahuan? (he...sebenarnya sampai sekarang juga masih bingung). Kalau sedang malas keluar kamar ewie akan jawab "ngga usah mas, tolong sampahnya aja dibuang", sambil menyerahkan bungkusan plastik hitam berisi sampah. Untuk urusan membersihkan kamar ini, petugasnya juga ada dua orang yang tugas bergantian sehari-hari. Ketukan ketiga akan kembali terdengar pada pukul 13.30-14.00. Mas room boy yang sama, yang membersihkan kamar, akan mengantarkan handuk bersih dan 2 botol sedang air mineral. Pada ketukan ke-empat, ketukan terakhir pada hari itu, mba yang bertugas menghantar cucian bersih dan wangi yang sudah terlipat rapi dan terbungkus plastik sudah berdiri di depan pintu dengan senyum terkembang.

Selama di Sangatta, Ewie sendiri juga punya jadwal yang tanpa disadari sudah tersusun dengan sendirinya. Pagi setelah sholat shubuh, menonton berita atau olahraga sekitar hotel sama Mas (untuk kegiatan satu ini Mas bela-belain menemani Ewie ke pasar beli sepatu kets, yang murah meriah saja J). Pukul 6.30 Mas mandi dan bersiap kerja, dan setelahnya pada pukul 7.00 kami sudah menikmati sarapan gratis di resto. Pukul 7.30 bus jemputan sudah datang, pertanda waktunya mas berangkat kerja.

Begitu balik ke kamar tidak banyak pilihan kegiatan yang bisa ewie lakukan. Mandi, dhuha, baca buku (yang hanya dua buah dan sudah habis dibaca), menonton acara kesukaan “The Amazing Race Asia”  atau tenggelam di dunia maya; browsing, chatting, multiplying, fesbuking. Pukul 10.00, saat kamar dibersihkan ewie sudah asyik menyeberangi sungai di belakang hotel menuju pasar untuk sekedar beli sayur. Beruntung kami sempat beli kompor listrik kecil sebelum berangkat ke Sangatta, jadi bisa masak sayur bening dan kebutuhan serat bisa cukup terpenuhi. Kadang malah bela-belain beli sedikit ayam mentah dan bikin sop ayam J. Setelah shalat zhuhur biasanya ewie kembali asyik di depan laptop dan ber-internet ria. Kalau sudah bosan, barulah melirik belanjaan dan mulai memasak. Selanjutnya shalat Ashar dan bersiap menyambut Mas pulang. Diusahakan untuk tampil cantik dan wangi dengan senyum terkembang, supaya Mas senang serta hilang segala kelelahan dan beban kerja. Nah, kalau Mas sudah pulang waktu terasa begitu cepat berlalu. Canda, tawa, atau obrolan ringan mewarnai sore hari kebersamaan kami sehari-harinya.

Kegiatan yang kurang lebih hampir sama Ewie jalani setiap harinya. Beberapa hari pertama memang bosan, akan tetapi seiring berjalannya waktu kebosanan itu sirna dan berganti rasa syukur karena bisa setiap hari bertemu Mas. Selain itu, silaturahmi kami ke DPD PKS menghantarkan Ewie pada kegiatan lain yang mudah-mudahan bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Wallahua’lam.

 

 

 

Senin, 23 Februari 2009

Bukit Pandang

Pada suatu sabtu yang cerah (panas, tepatnya), Mas mengajak Ewie ke salah satu objek (wisata?) yang sering dikunjungi, terutama oleh muda-mudi Sangatta. Lokasinya yang sepi sering menyebabkan tempat itu di salahgunakan untuk tempat pacaran. Ketika kami sampai di sana, terlihat sebuah bangunan kayu yang dinamakan Menara Pandang yang khusus disediakan oleh PT. Kaltim Prima Coal selaku “pemilik” tambang. Begitu naik terlihat beberapa pasang muda-mudi. Sebagian memang datang untuk melihat tambang dan sebagian lagi seperti  tidak tahu malu bermesraan layaknya suami istri.

Lokasi itu dinamakan Bukit Pandang, karena dari sanalah kita bisa memandang secara langsung area penambangan batu bara terbesar di Indonesia. Begitu memandang ke arah tambang, seketika Ewie terpesona. Bukan karena keindahan alamnya melainkan karena begitu gamblangnya proses penambangan terlihat dari lokasi itu. Area penambangan yang terlihat dari Bukit Pandang dulunya merupakan sebuah bukit yang kaya akan batu bara. Sekarang, setelah dilakukan eksplorasi bukit itu dinamakan Pit J, suatu open pit mining.

Open pit mining, dikenal juga dengan istilah opencast mining, open-cut mining dan strip mining, merupakan suatu metode penggalian batuan atau mineral dari bumi dengan cara memindahkan batuan dan mineral tersebut dari suatu lubang (pit) terbuka. Istilah tersebut digunakan untuk membedakannya dari metode penambangan dengan cara menggali terowongan ke dalam perut bumi. Open pit mining dipilih jika simpanan batuan dan mineral (misalnya batu bara) tersebut ditemukan dekat dengan permukaan bumi sehingga tidak perlu dilakukan penggalian terowongan.

Menurut yang Ewie tangkap dari penjelasan Mas, penambangan batu bara di Pit J dilakukan lapis demi lapis. Lapisan paling atas yang merupakan lapisan kaya akan unsur hara (soil) terlebih dahulu dipindahkan dan disimpan di tempat lain supaya bisa dimanfaatkan nantinya untuk reboisasi/restorasi. Bayangkan, memindahkan lapisan atas sebuah bukit pasti bukan pekerjaan mudah. Akan tetapi, kemajuan industri dan teknologi memudahkan segalanya termasuk dengan hadirnya kendaraan super berat ini :

Kelihatannya seperti truk biasa dengan ukuran biasa ya. Tapi coba bandingkan dengan mobil biasa seperti di bawah ini:

Besar! Truk dengan bobot 270 ton yang disebut haul truck atau dump truck inilah yang digunakan untuk membawa soil dan batu bara ke lokasinya masing-masing. Coba perhatikan mobil putih yang ada di belakang truk.  Tingginya hanya setengah dari diameter roda truk, kalau terlindas bisa rata dengan tanah. Makanya tidak sembarang orang dan kendaraan yang boleh masuk ke area tambang.

Setelah lapisan subur bukit dipindahkan seluruhnya, barulah lapis demi lapis tanah yang kaya akan batu bara digali sampai ke lapisan paling bawah. Penggalian batu bara dilakukan secara masif, 7 hari dalam sepekan dan 24 jam sehari. Luar biasa, dengan produksi batu bara sekitar 43 juta ton per tahun tidak heran Aburizal Bakri sempat menjadi orang terkaya nomor 1 di Indonesia. Dalam waktu kurang dari satu dekade habislah seluruh bukit berikut ekosistemnya dan terciptalah lubang-lubang besar yang kalau turun hujan akan terisi air dan terlihat seperti danau.

Pada detik ini, Ewie termenung. Betapa ‘teganya’ manusia pada alam sampai mengakibatkan kerusakan yang sangat besar. Padahal Allah telah memperingatkan akan ‘kejahatan’ manusia terhadap bumi dalam ayat-ayat-Nya yang mulia. Sayangnya manusia sering lupa atau pura-pura pula untuk mengingatkan diri dan beristighfar akan peringatan Allah tersebut.

Al-Qashash (28): 77
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagian dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Al-Maidah (5): 33
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar.”

Ar-Ra`d (13): 25
“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di muka bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang paling buruk (Jahannam).”

Al-A`raaf (7): 74
“Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum `Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu meraja lela di muka bumi membuat kerusakan.”

Al-A`raaf (7): 85
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka Syu`aib. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.”

Hud (11): 85
“Dan Syu`aib berkata: ‘Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan berbuat kerusakan.”

Asy-Syu`araa` (26): 183
“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan;”

Asy-Syu`araa` (26): 151-152
“dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan.”

Ar-Ruum (31): 41
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Al-Baqarah (2): 205
“Dan apabila ia berpaling (dari mukamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.”

Kalau sudah begini, kita hanya bisa berharap dan berdoa semoga pihak “pemilik” tambang sudah memiliki desain yang tepat untuk mengimbangi kerusakan yang telah mereka sebabkan. Wallahu a’lam

Rabu, 18 Februari 2009

Enjoying the day




Sore hari selain semilir angin di bawah pohon beringin tiada yang lebih nikmat selain yang satu ini

Selasa, 17 Februari 2009

Suatu Sore di Stasiun Gambir

Jakarta, 4 Januari 2009

Bismillah..

Hari itu adalah salah satu hari yang berkesan dalam hidupku. Bukan saja karena itu kali pertama aku mengikuti aksi palestina bersama suami sejak pernikahan kami satu tahun lalu, namun juga karena pertemuanku dengan seseorang.

***

Rangkaian acara aksi menentang agresi Israel di depan kedubes AS baru saja ditutup. Rasa pegal pada tungkai yang sepanjang aksi tidak dirasakan mulai memperberat langkah kami, namun kewajiban pada Yang Maha Pengasih tetap harus ditunaikan. Aku dan suami memilih untuk sholat di masjid terdekat yang bisa kami capai, masjid di Stasiun KA Gambir. Selesai menunaikan shalat Ashar waktu sudah menunjukkan pukul 17.30. Lamanya waktu tempuh pulang ke Bekasi sepertinya akan membuat kami melewatkan kewajiban lainnya, sholat magrib. Rasanya tidak mungkin menunggu munculnya semburat merah langit di masjid yang penuh sesak oleh jamaah yang sedang dan hendak menunaikan sholat. Bingung mau menunggu dimana, akhirnya kami memutuskan untuk singgah di sebuah kedai kecil dan memesan 2 mangkok mie rebus dan 2 botol minuman dingin. Tak lama menunggu, pesanan tersaji dan segera saja kami menyantapnya. Mmm..terasa nikmat memang jika perut sedang lapar dan badan terasa lelah.

“Kak, bagi uang donk..buat makan”, suara itu mengejutkanku. Aku kaget. Disampingku telah berdiri seorang gadis kecil , kurus, agak kumal dan berambut merah yang memandangku dengan wajah mengharap. Hh...aku sedikit menghela napas. Entah sejak kapan aku enggan memberi uang pada anak-anak yang mencari uang dengan cara mengemis. Aku sudah akan minta maaf tidak bisa memberinya uang ketika tiba-tiba aku teringat ada sebungkus “oreo” di tasku. Aku merogoh tas, mengambil sebuah biskuit dan menyerahkan kepada gadis itu seraya berkata “Kue aja yah”. Dan seperti yang kuduga, wajahnya langsung sumringah. Dengan sigap tangan kecilnya mengambil biskuit di tanganku. Aku berharap gadis itu akan segera pergi setelah kuberi biskuit, tetapi sebaliknya ia tidak beranjak satu langkah pun.

“Diputer…”, katanya dengan riang. “Dicelupin!”, spontan aku menyambung ucapannya. “Bukan kak! Diputer…dijilat…dicelupin”, ujarnya menirukan sebuah iklan biskuit tersebut di televisi untuk mengoreksiku. Mau tak mau hal itu membuatku tersenyum dan terdorong untuk berinteraksi dengannya. “Namanya siapa?”, tanyaku. Dengan cepat gadis kecil itu menjawab, “Pungki”.  Sambil terus menyantap mie rebus yang masih hangat, aku kembali bertanya, “Pungki sudah sekolah belum?”. Ia menjawab “sudah”  dan bercerita kalau ia sekarang duduk di kelas 1 di sebuah sekolah dasar tak jauh dari stasiun gambir. Tanpa kuduga, ia balik bertanya, “Mienya pedas ya?”. Mungkin karena melihat aku makan dengan lambat sambil menarik dan menghembuskan napas seperti orang kepedasan. “Oh nggak kok, mienya masih panas”, jawabku.

Dari perbincangan kami selanjutnya aku jadi tahu bahwa ia tinggal berdua dengan ibunya di sebuah gubuk tak jauh dari stasiun Gambir. Ayahnya sudah meninggal. Aku tertarik untuk bertanya, “Siapa yang suruh Pungki minta-minta?”. Gadis berambut merah seperti rambut jagung itu bercerita bahwa ibunyalah yang menyuruh ia minta-minta untuk biaya sekolah, tentu saja dengan bahasa kanak-kanak lima tahunan. Pungki terus saja berceloteh tentang berbagai hal termasuk bahwa ia sering ke makam ayahnya dan ia tidak takut berada di kuburan. Aku terus mendengarkan sambil meneruskan makanku dan sekali-kali mengangguk-angguk menandakan aku menyimak ceritanya. Suamiku yang sudah lebih dahulu menghabiskan mie rebusnya tampak turut menyimak cerita Pungki.

“Kuenya nggak dihabisin?”, tanyaku pada Pungki karena kulihat ia belum menghabiskan Oreo yang kuberi. “Iya..kuenya enak”, jawab Pungki sambil mengunyah Oreo tersebut. “Habis makan, sikat gigi ya” ujarku. “Habis makan, cuci tangan terus sikat gigi”, sahut Pungki. Aku kembali tersenyum mendengarnya. “Pungki jangan sering minta-minta ya, terus belajar yang rajin biar pintar”, nasihatku padanya walau aku tahu ia akan terus meminta-minta. “Iya…minta-minta itu ngga boleh”, jawabnya. Sejurus kemudian, tanpa berkata-kata Pungki tiba-tiba berlari pergi. Ups… aku kaget juga. Apa karena kata-kataku? Entahlah. Yah, setidaknya aku dapat segera menghabiskan mie rebusku.

“Sudah bersih!”, sebuah suara kembali mengagetkanku. Pungki sudah berdiri lagi di sampingku sambil memperlihatkan tangan dan gigi-giginya. Oo, ternyata gadis kecil itu hanya pergi untuk cuci tangan. Aku  tersenyum dan dalam hati berkata “Hm…anak kecil memang ibarat spons, dengan cepat menangkap informasi di sekelilingnya”. Entah kenapa, detik itu aku jadi merasa Pungki anak yang istimewa. Mungkin karena ia begitu mudah dididik. Mungkin juga karena ia tak seperti anak-anak pengemis lainnya yang agak ‘memaksa’ dalam hal meminta-minta. Seingatku,hanya sekali saja Pungki meminta uang padaku.

Tak berapa lama akhirnya aku selesai memindahkan semangkok mie rebus tersebut ke dalam perut  dan segera saja kuhabiskan teh botol dingin kegemaranku. “Itu makannya ngga dihabisin?”, tanya Pungki sambil menunjuk mangkok mie rebusku  yang hanya tersisa separuh kuning telur, sedikit mie dan kuah. Aku menggeleng. Dengan mata berbinar Pungki berkata “Buat Pungki aja ya?” Aku langsung terhenyak, untuk sesaat aku terdiam dan akhirnya lemas aku menjawab,  “Iya…boleh”. Pungki segera menyambar mangkok mie itu dan memakan isinya yang tidak seberapa. Aku terus menatap pemandangan yang belum pernah kusaksikan seumur hidupku itu dengan hati terenyuh sambil berpikir, sebegitu susahnyakah kehidupan Pungki dan anak-anak lain sepertinya? Aku goyah. Apa tepat pendirianku selama ini untuk tidak memberi uang pada anak-anak yang meminta-minta karena tidak mau turut mendidik mereka bermental pengemis? Apakah prinsipku memberi sedekah hanya untuk orang yang kelihatannya memang tidak mampu mencari nafkah sudah tepat?  Belum selesai aku berdebat dengan diriku sendiri, Pungki berkata “Ga pedes kok”. Oh, ternyata ia sudah menghabiskan isi mangkok mie rebus tadi. Aku kembali terenyuh. Apa kupesankan saja mie rebus untuk anak ini? Belum sempat aku memutuskan, tiba-tiba Pungki berkata dengan terburu, “Pungki pergi dulu ya”. Sekejab sebelum ia berlari pergi aku menangkap lirikan matanya ke arah belakangku. Aku segera menoleh ke belakang dan melihat seorang wanita bertubuh gemuk, berpenampilan sama lusuhnya dengan Pungki menggamit tangan gadis kecil itu dan membawanya pergi.

“Mungkinkah ibunya?”, tanyaku dalam hati. Ibu yang menyuruhnya meminta-minta agar dapat menafkahi hidup mereka berdua? Mungkin... Aku merenung, sampai saat akhir pertemuan kami Pungki tetap tidak mengulang untuk meminta uang. Lagi-lagi aku merasa Pungki adalah anak yang istimewa.

 Azan magrib bergema, aku dan suami segera beranjak ke masjid terdekat untuk menunaikan kewajiban kepada Yang Maha Pencipta.Yang menciptakan aku, Pungki, semua orang dan semesta alam. Yang tidak membeda-bedakan hamba-Nya berdasarkan kekayaan,kecantikan, jabatan, suku bangsa melainkan ketakwaan… Hari sudah mulai gelap ketika kami menaiki bus AC Mayasari Bhakti yang akan membawa kami pulang. Sepanjang perjalanan aku terus teringat pada Pungki sampai akhirnya suasana dingin, suara gitar dan nyanyian sumbang seorang pengamen mengantarkanku pada tidur lelapku.