Selasa, 29 Desember 2009

Optimis Lagi

Bengkulu, 3 Juni 2009

Alhamdulillah. Segala puji hanya bagi Allah. Esok ternyata memang lebih cerah. Matahari yang baru saja terbit memancarkan sinar hangatnya ke seantero Desa Hargo Binangun. Hatiku kembali hangat. Apalagi saat mengetahui bahwa ternyata memang ada angkot/mobil tambangan jurusan Ulu Talo-Kota Bengkulu yang melintas di depan Puskesmas setiap pukul 7 pagi. "Hmm... berarti tempat ini tidak terlalu terpencil", begitu pikirku menghibur diri.
Bermodalkan perut kosong dan badan yang belum diguyur air (baca: belum mandi :p), aku dan suami berangkat ke Bengkulu dengan menumpang angkot pertama yang melintas. Tujuan kami ke Bengkulu utamanya ingin membeli berbagai perlengkapan mendasar yang diperlukan untuk menjalani hidup satu tahun di tempat terpencil dan tak berlistrik seperti Ulu Talo. Genset, pompa air, pipa, selang, kabel, peralatan memasak (kompor dan teman-temannya), ember besar penampung air, ember kecil, serta pernak-pernik lainnya sudah masuk dalam daftar belanjaan hari itu.
Perjalanan ke Bengkulu ditempuh dalam waktu 3 jam. Satu jam pertama kami harus melewati jalanan rusak yang nyaris tidak pernah diperbaiki sejak pertama kali dibangun 20an tahun yang lalu. Melelahkan. Hamdallah, akhirnya sampai juga di jalan raya Seluma-Bengkulu. Setidaknya tidak tersiksa lagi oleh guncangan mobil akibat jalan rusak tersebut.
Pukul 10.00 kami telah memasuki kota Bengkulu. Pak supir yang baik hati mengantar kami ke Pasar Panorama di Lingkar Timur. Rencananya kami akan kembali ke Ulu Talo hari itu juga dengan menumpang angkot yang sama. Yak, berarti harus gerak cepat. Kami hanya punya waktu 3 jam untuk menyelesaikan segela urusan, termasuk mengetik berbagai berkas yang harus kuserahkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Seluma beberapa hari kemudian. Kami berbagi tugas. Suami bertugas membeli barang-barang yang ada di daftar belanjaan, sementara aku harus mencari rental komputer/warnet terdekat. Huff... berpanas-panasan di jalanan pasar Panorama sungguh melelahkan dan membuat kesal, apalagi saat warnet pertama dan kedua yang kudatangi tidak mempunyai fasilitas printer atau penuh oleh anak-anak usia sekolah yang asyik bermain game online. Hampir putus asa, hamdallah akhirnya ada juga komputer nganggur di salah satu warnet, dan bisa print. Itu yang penting!
Setelah hampir 2 jam berkutat dengan tuts-tuts komputer dan dengan sukses mencetak berkas-berkas tersebut, bersegera aku mencari dimana gerangan si Mas berada. Mondar-mandir beberapa saat, akhirnya kutemukan suami tercinta di salah satu toko. Masih sibuk dengan daftar belanjaannya. Terlihat lelah. Kasihan...Huff... Udara masih sangat panas, sementara aku masih harus mencari barang-barang yang belum terbeli.
Pukul 14.00 kurang sedikit, kami telah selesai berbelanja. Barang-barang telah dimuat ke mobil dan siap berangkat kembali ke Ulu Talo. Sepanjang perjalanan kami tertidur kelelahan. Tak terusik oleh udara panas dan rasa lengket di badan. Sekitar pukul 17 akhirnya kami sampai juga di rumah. Sebentar saja melepas lelah, aku sudah harus ke warung atas mencari bahan-bahan yang kira-kira bisa dimasak. Kalau tidak masak, ya tidak makan. Mana ada warung makan di Ulu Talo :)
Menjelang magrib, jadilah masakan pertamaku di ranah PTT ini; teri dan kentang balado serta sayur kol yang diuap di atas tanakan nasi. Sederhana tapi nikmat. Hamdallah... Mulai saat itu aku sudah bisa tersenyum lega dan optimis menjalankan pengabdian. Malah di kemudian hari aku sangat bersyukur Allah menempatkanku di sini. Di Ulu Talo. Semoga Allah memudahkan segalanya. Amin.

Gamang

Bengkulu, 2 Juni 2009

Awan bergelayut malas di langit Ulu Talo ketika kami menginjakkan kaki pertama kali di kawasan yang dikelilingi bukit barisan itu. matahari malu-malu menampakkan sinarnya yang benderang. Mendung... Hatiku turut mendung. Apalagi ketika menangkap suasana sepi yang melingkupi kompleks Puskesmas dan rumah-rumah dinas dokter dan paramedis. Tidak terlihat satupun rumah penduduk dari tempat kami berdiri.
Gamang. Kami mengikuti langkah-langkah cepat para petugas dari Dinas Kesehatan Kabupaten Seluma yang mengantar rombongan kecil kami; dokter gigi PTT, aku sendiri sebagai dokter PTT, dan suamiku. Aura sunyi yang tadi mencekam seketika buyar ketika kami disambut oleh Kepala Puskesmas Ulu Talo, lelaki 40an tahun berbadan gempal dan bersuara besar dengan aksen Batak yang kental. Tumpak Damanik namanya. Beliau langsung memperkenalkan kami pada staf Puskesmas lainnya.
Setelah memberikan sedikit pengarahan sang Kapuskes mengantar kami melihat-lihat rumah dinas yang akan kami tempati. Rumah dinas dokter dan paramedis terletak tepat di belakang gedung  Puskesmas. Aku dipersilakan menempati rumah dinas bidan yang kebetulan tidak ditempati oleh bidan desa Hargo Binangun, desa dimana Puskesmas Kecamatan Ulu Talo berada. Rumah dinas bidan itu terletak di tengah, diapit rumah dinas dokter dan rumah dinas perawat. Terlihat kusam dan semrawut karena lama tak ditempati. Rumput dan ilalang tumbuh subur di pekarangan kiri kanan rumah. Sementara halaman belakang rumah penuh dengan pepohonan kecil dan belukar. Keadaan di dalam rumah tak kalah menyedihkannya. Lantai kotor penuh dengan kotoran serangga dan sarang laba-laba menempel di berbagai penjuru langit-langit. Sepanjang siang itu kami mulai sibuk membersihkan rumah hingga layak untuk ditempati, setidaknya untuk 1 malam saja.
Senja merayap lambat. Matahari berlalu tanpa menyisakan sedikitpun cahayanya. Aku semakin gamang. Tidak ada listrik.  Gelap gulita dan sunyi di Hargo Binangun. Hanya terdengar suara binatang malam bersahut-sahutan, yang di kemudian hari dijuluki ibu mertua "Oskestra Alam". Gamangku akhirnya tumpah di dada suami, ditemani buting-butir bening yang mengalir pelan di pipiku. Ya... Membayangkan harus hidup di tempat itu setahun ke depan, tangisku tak lagi terbendung. Kutanya hatiku, apakah benar ini yang kuinginkan? Ia tak berani menjawab.
Aku lelah. Kubiarkan hatiku menumpahkan rasa pada belahan jiwa yang tak akan kemana, setidaknya untuk saat itu. Batinku terlalu lelah untuk mencerna argumen-argumen yang dikemukakan logikaku agar aku komitmen dengan keputusan ini. Untuk saat itu biarlah hatiku mengadu. Sambil berharap, esok akan lebih cerah. Esok akan lebih kuat.