Minggu, 16 Januari 2011

Setelah Satu Tahun

Satu episode kehidupan yang mungkin akan sulit saya lupakan dan akan terus membekas di hati adalah satu tahun yang saya habiskan di Ulu Talo. Begitu banyak kenangan dan emosi baru yang tak pernah saya rasakan sebelumnya, yang mewarnai masa-masa itu. Segala sesuatu tentang ulu talo sungguh membuat saya rindu.


Ulu Talo membuka pagi bersama sinar matahari  dan kabut putih yang hampir penuh menutupi puncak bukit.  Sesekali terdengar suara monyet bersahut-sahutan nun jauh di rimba. Sebelum mulai mencuci piring di teras belakang rumah saya akan diam sejenak menikmati suguhan indah pagi hari yang tidak akan saya temukan di Jakarta itu. Kadang seruan Bu Pariyem yang tinggal tak jauh di belakang rumah dinas memecahkan lamunan saya. Ah, bahkan lambaian hangatnya di pagi hari juga mungkin tak akan saya saksikan lagi. 



Saat siang terik dan saya sudah tidak tahu lagi apa yang akan dilakukan, bongkahan awan putih dengan latar biru langit yang sangat indah akan membuat saya melupakan sejenak rasa jenuh dan sepi. Kalau sudah begitu, bangku kayu yang dibuat uncu (paman) saat datang mengunjungi saya akan menjadi tempat favorit. Tempat saya menatap awan.
















Langit senja Ulu Talo dengan sinar mentari yang kemerahan memberikan warna tersendiri bagi saya. Ada nuansa sepi disana, karena saya tahu sinar kemerahan itu pertanda datangnya malam. Lagi, saya harus melalui hari yang mulai gelap itu dalam kesunyian, jauh dari keluarga dan teman. Kumandang azan Isya dari masjid kampung sedikit menenangkan saya. Ba'da isya selepas mengaji dua penjaga cilik saya, Tutur dan Ning, akan mengetuk pintu sambil berseru "mbaaa...". Lega sekali kalau sudah mendengar suara mereka. Sesekali saya bantu belajar dan mengerjakan PR. Sesekali saya nasehati agar mereka punya cita-cita dan terus bersemangat meneruskan pendidikan. Jangan puas hanya tamat SMP, menikah muda dan bekerja di kebun seperti kebanyakan anak gadis disana.

Saat malam-malam terang, rembulan akan menjadi hiburan mendamaikan bagi saya. Tiada lampu-lampu kota sebagai pesaing, sang rembulan berpuas diri menjadi primadona malam. Menjadi penerang jalan bagi anak-anak yang baru pulang mengaji. Sampai saat ini, setiap menatap purnama, saya teringat saat terang bulan di ulu talo. Rasa rindu segera menggelitik, yang mau tak mau memaksa saya tersenyum sendu.

Saya rindu menghabiskan senggang di warung Bu Siti di depan Puskesmas. Setiap pagi sebelum mulai beraktivitas saya selalu sarapan bakwan dan tahu isi disana. Kadang juga mencicipi siomay ala Bu Siti (yang lebih mirip pempek) yang dulu saat pertama kali mencobanya terasa aneh di lidah saya. Entah kenapa lama-kelamaan jadi terasa enak, bahkan suami yang datang sekali dua bulan tak pernah menolak tiap ditawari siomay unik itu =)




Saya rindu rumah dinas saya yang tergolong "bagus" dibandingkan kebanyakan rumah masyarakat disana yang umumnya masih berdinding kayu dan berlantaikan tanah. Tak peduli sepanas apapun sengatan matahari, rumah bercat putih itu terasa sejuk dan adem. Pekarangannya saya tanami berbagai tanaman yang ketika mulai berbunga 6 bulan kemudian menjadi hiburan tersendiri bagi saya. Kadang sedih membayangkan kelak saya akan meninggalkan rumah dan bunga-bunga yang tak henti bermekaran itu.

Hujan hampir selalu lebat di Ulu Talo. Saking lebatnya, jalan setapak menurun menuju rumah dinas seolah berubah menjadi sungai kecil, mengalir deras. Ketika hujan, suara air yang beradu dengan atap rumah seolah bergemuruh, kadang membuat saya merinding. Kalau sudah begitu berkali-kali saya berucap "laa hawla wala quwwata illa billah" dan menatap keluar jendela mencari tanda-tanda kehidupan di luar untuk meyakinkan bahwa saya tidak sendirian. Ah, sekarang hujan itupun membuat saya rindu...

Staf dan karyawan Puskesmas jarang hadir lengkap tapi cukup menghargai saya yang usianya jauh di bawah mereka.  Hanya satu dua orang yang cukup rajin, membantu saya di pendaftaran dan apotek. Sayangnya mereka juga tidak tiap hari datang. Sisanya? Lebih banyak nongkrong di warung Bu Siti membiarkan saya melayani pasien sendirian, mulai dari pendaftaran, mencari status, memeriksa pasien, sampai mengambilkan obat di apotek. Namun kemudian saya menyadari mereka bukannya tidak mau membantu, tapi merasa tidak dibutuhkan. Mereka punya trauma tersendiri dengan dokter pendahulu saya. Akhirnya setelah beberapa bulan saya memberanikan diri. Kalau pasien sedang ramai-ramainya saya akan berseru pada beberapa staf yang sedang nongkrong di warung bu Siti untuk membantu pendaftaran pasien dan mengambilkan obat. Saya cukup kaget saat pertama kali melakukannya, tanpa disuruh dua kali mereka langsung datang dan bekerja. Setelah beberapa lama malah tidak perlu disuruh lagi. Mereka juga sering menghibur saya dengan obrolan mulai dari yang ringan-ringan sampai yang berat-berat. Melemparkan candaan dan banyolan yang kadang membuat saya tertawa terbahak-bahak. Sambil menuliskan kisah ini saya terus membayangkan wajah mereka, berharap dapat memahatnya di hati agar saya takkan pernah lupa wajah dan nama mereka.

Berfoto bersama staf Puskesmas

Saya terkenang masa-masa terakhir pengabdian saya. Saat itu, satu tahun....akhirnya terlewati. Tiba saatnya mengucapkan selamat tinggal. Saya dan dokter gigi PTT, sahabat saya, memutuskan mengadakan acara perpisahan kecil-kecilan dengan mengundang staf puskesmas dan warga sekitar puskesmas yang kami kenal baik.

Cukup ramai yang datang hari itu. Mama, papa dan kakak lelaki saya juga hadir saat itu untuk menjemput saya. Saat memberikan sambutan saya bertekad untuk tidak menangis, karena saya ingin mereka mengingat saya dalam keadaan tersenyum ketika berpisah. Namun, belum berapa lama saya berbicara, terdengar sesenggukan ibu-ibu yang tak urung membuat saya ikut menangis. Saya tidak menyangka acara perpisahan hari itu akan berubah mengharukan. Saya tidak menyangka berakhirnya masa tugas yang saya nanti-nantikan tidak se-membahagiakan yang saya bayangkan. Mereka memeluk saya erat dan menangis haru. Saat bubaran, saya bergegas kembali ke rumah dinas untuk membersihkan sisa-sisa kesibukan memasak hidangan untuk acara perpisahan. Siang itu juga kami akan bertolak meninggalkan Ulu talo. Papa yang menunggu di depan Puskesmas berkali-kali memanggil saya untuk segera berangkat. Ketika menuju mobil saya kaget luar biasa. Mereka semua masih disana, para staf dan warga. Mereka masih berkumpul di depan Puskesmas. Papa bilang, mereka belum mau pulang sebelum melepas keberangkatan kami. Ya Allah... Bagaimana mungkin saya tidak akan merindukan mereka. Saya sungguh terharu. Tersisip rasa sesal karena belum memberikan yang terbaik untuk mereka.


Berfoto bersama warga


Beribu maaf dan terima kasih saya sampaikan bagi mereka yang turut mendidik jiwa saya...

Moga kelak kami dapat bertemu kembali


Moga kelak saya bisa menginjakkan kaki kembali di Ulu Talo

Tempat dimana sejuta kenangan tersimpan



*sindrom pasca PTT*