Senin, 11 Januari 2010

Jerit Hati

Hhh...tatapan itu lagi. Tak bisakah mereka berhenti mengusikku dengan tatapan itu? Kadang tatapan iba. Lebih sering berupa celaan. Selalu dan selalu diikuti bisik-bisik tak sedap.
Kutatap bocah kecil ini. Bocah yang telah menemani kesendirianku setahun terakhir. Maafkan ibu Nak, selalu menatapmu dengan tatapan prihatin. Entah bagaimana masa depanmu nanti. Syukur kau terlahir sebagai seorang laki-laki. Coba kalau kau wanita. Kau akan mendapat cap yang sama denganku. Entah bagaimana aku akan menikahkanmu kelak.
Pria yang sering kau tanyakan sebagai ayahmu? Mana dia peduli! Ia telah hidup tenang dengan keluarganya. Boro-boro kau mengharap ia akan mendekapmu erat penuh kasih sayang. Atau membelikanmu es potong. Menyapa kita pun tidak, Nak. Seolah tak pernah terjadi apa-apa antara aku dan dia.
Aku yang salah. Aku yang bodoh. Begitu gampangnya termakan rayuan pria beristri itu. Ketika perutku membuncit ia lepas tangan. Keluarganya pun seolah menutup mata. Istrinya matia-matian menghinaku. Aku sungguh menyesal. Kasihan sekali bapak ibu. Tak pernah kusangka akan membuat mereka malu demikian rupa.

Tatapan itu lagi. Bisik-bisik itu lagi. Entah sampai kapan. Kau pun harus menanggungnya anakku. Maafkan ibu...


*saat hujan di ulu talo*

Kamis, 07 Januari 2010

Sendiri Dulu

Ulu Talo, Juni 2009

Masa cuti telah berakhir. Tugas sudah memanggil. Tiba waktunya bagi Mas untuk kembali ke Jakarta, yang berarti Ewie harus tinggal sendiri di Ulu Talo. Beberapa hari sebelum kepulangan MAs ke Jakarta Ewie telah mempersiapkan hati agar tidak terlalu sedih ketika Mas pergi.
Kutatap wajahnya, kucium tangannya. Kulepas kepergiannya dengan hati sendu, tapi hamdallah tiada air mata yang mengalir. Ewie tidak ingin Mas khawatir.
Sendiri dulu. Sepulang dari Puskesmas yang hanya berjarak 10 meter dari rumah dinas tidak ada lagi yang menyambut Ewie. Hanya rumah kosong yang masih harus dibenahi. Yah, tidak apa-apa. Inilah konsekuensi mempunyai jiwa petualang.
Mengabdi sebagai dokter PTT di daerah sangat terpencil telah menjadi cita-cita dan idealisme Ewie sejak dulu. Sejak sebelum menikah dengan Mas telah Ewie utarakan padanya mengenai hasrat yang satu itu. Setelah menikah Mas menepati janjinya untuk mengizinkan Ewie PTT. Beberapa kali rencana PTT gagal oleh satu dan lain hal. Sempat pula Ewie memutuskan untuk melupakan cita-cita mengabdi di pelosok negeri itu dan ikut kemana Mas bertugas. Sayangnya hati tidak bisa dibohongi. Negeri terus memanggil. Ewie tak tenang karena hutang pada hasrat belum juga terbayarkan.
Yah, akhirnya tersampaikan juga cita-cita yang sempat terpendam itu. Mas dan keluarga besar memberi restu, dengan syarat tempatnya harus benar-benar aman dan gampang dikunjungi (murah ongkos transportnya :p). Berarti wilayah Indonesia bagian timur tercoret dari daftar daerah tujuan PTT Ewie. Pulau Sumatera akhirnya kami anggap tempat yang paling sesuai.
Akhirnya, di sinilah Ewie. Di Ulu Talo. Sebuah kecamatan di Propinsi Bengkulu.
Beginilah Ewie, sendiri dulu. Semoga Allah meridhoi...


* Satu tahun. Hanya itu yang Ewie minta dari Mas. Sesudahnya... I'll always be by your side...Insya Allah*

Selasa, 05 Januari 2010

Uni

Tak banyak yang kuingat tentangnya. Bahkan namapun tidak. Namun kenangan akan keikhlasan dan kesabarannya begitu membekas di hati
                                                                   ***

Suatu hari di masa kanak-kanakku mama membawa seorang perempuan muda ke rumah. Beliau memperkenalkan perempuan bertubuh mungil itu sebagai guru mengaji kami yang baru. Tanggung jawab mempersiapkan bekal agama untuk kami yang harus terganjal kesibukannya sebagai wanita pekerja membuat mama terpaksa menitipkan tugas tersebut pada perempuan muda itu.
Kami memanggilnya 'Uni". Penampilannya sungguh tidak biasa untuk era 90-an awal itu; jilbab lebar dengan setelan blus panjang dan rok warna senada, lengkap dengan kaos kaki yang tak lepas dari sepasang kaki yang rutin mengantarnya setiap pekan ke rumah kami.
Uni mengajari kami satu per satu. Tak hanya mengupayakan kami pintar baca Qur'an, di setiap pertemuan ia perkenalkan juga kami dengan berbagai hadist. Aku ingat betul bagaimana Uni menuliskan hadist-hadist tersebut di kertas-kertas kecil dan membagikannya pada kami berempat (aku dan 3 kakakku) untuk dibahas. Ia juga mendorongku untuk menghapal Al-Qur'an. Malu nian rasanya jika belum bisa menyetorkan hapalan yang Uni tugaskan pada pertemuan sebelumnya.
Kadang kami malas mengaji hingga menampakkan muka masam padanya. Namun Uni tak pernah terlihat marah. Tutur halus dan senyum tulus tetap menemaninya dalam membimbing kami.
Suatu hari Uni menyampaikan kabar bahwa ia tak bisa lagi membersamai kami belajar Qur'an dan Islam. Ia sakit. Paru-paru basah katanya. Istilah yang masih asing untuk otak kecilku saat itu. Aku merasa kehilangan. Namun aku juga sedikit girang karena terlepas dari rutinitas mingguan yang membuatku harus berhenti bermain dan menonton tv sejenak.
Beberapa bulan setelahnya Uni sering menanyakan kabar kami lewat telepon. Setelah beberapa tahun pun Uni kadang masih menelepon. Hingga suatu saat, suara lembutnya tak pernah lagi kami dengar.
Menginjak dewasa sosok Uni kembali menguat dalam memoriku. Semakin kuat dan kuat hingga menjelma menjadi rasa rindu ingin bertemu. Kadang rindu itu hadir sebagai butir bening di mataku yang diiringi untaian doa semoga Allah mempertemukan kami kembali suatu saat nanti. Pernah kutanyakan pada mama tentang keberadaannnya. "Entahlah nak. Mama pernah mendatangi kost-an lamanya. Uni tak lagi disana. Padahal mama juga ingin bertemu", begitu jawaban mama.

Ingin sekali bertemu. Ingin sekali memamerkan cara berpakaiannya yang dulu kuanggap asing, kini juga telah menemani keseharianku. Ingin sekali memperkenalkan lelaki sholeh berhati penyabar yang kini mendampingiku. Ingin sekali memeluk Uni dan mengucapkan "Mencintaimu karena Allah'". Semoga Allah memperkenankan...



Sabtu, 02 Januari 2010

Fort Marlborough




Senang sekali hari ini. Sudah lama tidak merasa sesenang ini. Mertua bela-belain datang berkunjung ke pelosok. Hamdallah diberi banyak kemudahan oleh Allah untuk bisa menyambut beliau berdua sebaik mungkin. Terutama bisa mengajak Bapak Ibu ke kota Bengkulu dan mengunjungi tempat-tempat menawan ini. Dan siapa sangka bisa jalan-jalan bareng yenia, saudariku tersayang, azzam ndut, mamah dan yanti.
Senang sekali waktu mendengar Bapak tertawa lepas di Fort Marlborough dan bernyanyi riang di kamar mandi saat sudah kembali ke hotel. Terima kasih ya Allah bisa membahagiakan beliau berdua hari ini :)