Selasa, 05 Januari 2010

Uni

Tak banyak yang kuingat tentangnya. Bahkan namapun tidak. Namun kenangan akan keikhlasan dan kesabarannya begitu membekas di hati
                                                                   ***

Suatu hari di masa kanak-kanakku mama membawa seorang perempuan muda ke rumah. Beliau memperkenalkan perempuan bertubuh mungil itu sebagai guru mengaji kami yang baru. Tanggung jawab mempersiapkan bekal agama untuk kami yang harus terganjal kesibukannya sebagai wanita pekerja membuat mama terpaksa menitipkan tugas tersebut pada perempuan muda itu.
Kami memanggilnya 'Uni". Penampilannya sungguh tidak biasa untuk era 90-an awal itu; jilbab lebar dengan setelan blus panjang dan rok warna senada, lengkap dengan kaos kaki yang tak lepas dari sepasang kaki yang rutin mengantarnya setiap pekan ke rumah kami.
Uni mengajari kami satu per satu. Tak hanya mengupayakan kami pintar baca Qur'an, di setiap pertemuan ia perkenalkan juga kami dengan berbagai hadist. Aku ingat betul bagaimana Uni menuliskan hadist-hadist tersebut di kertas-kertas kecil dan membagikannya pada kami berempat (aku dan 3 kakakku) untuk dibahas. Ia juga mendorongku untuk menghapal Al-Qur'an. Malu nian rasanya jika belum bisa menyetorkan hapalan yang Uni tugaskan pada pertemuan sebelumnya.
Kadang kami malas mengaji hingga menampakkan muka masam padanya. Namun Uni tak pernah terlihat marah. Tutur halus dan senyum tulus tetap menemaninya dalam membimbing kami.
Suatu hari Uni menyampaikan kabar bahwa ia tak bisa lagi membersamai kami belajar Qur'an dan Islam. Ia sakit. Paru-paru basah katanya. Istilah yang masih asing untuk otak kecilku saat itu. Aku merasa kehilangan. Namun aku juga sedikit girang karena terlepas dari rutinitas mingguan yang membuatku harus berhenti bermain dan menonton tv sejenak.
Beberapa bulan setelahnya Uni sering menanyakan kabar kami lewat telepon. Setelah beberapa tahun pun Uni kadang masih menelepon. Hingga suatu saat, suara lembutnya tak pernah lagi kami dengar.
Menginjak dewasa sosok Uni kembali menguat dalam memoriku. Semakin kuat dan kuat hingga menjelma menjadi rasa rindu ingin bertemu. Kadang rindu itu hadir sebagai butir bening di mataku yang diiringi untaian doa semoga Allah mempertemukan kami kembali suatu saat nanti. Pernah kutanyakan pada mama tentang keberadaannnya. "Entahlah nak. Mama pernah mendatangi kost-an lamanya. Uni tak lagi disana. Padahal mama juga ingin bertemu", begitu jawaban mama.

Ingin sekali bertemu. Ingin sekali memamerkan cara berpakaiannya yang dulu kuanggap asing, kini juga telah menemani keseharianku. Ingin sekali memperkenalkan lelaki sholeh berhati penyabar yang kini mendampingiku. Ingin sekali memeluk Uni dan mengucapkan "Mencintaimu karena Allah'". Semoga Allah memperkenankan...



2 komentar:

  1. tau kampuang nyo dimaa wie?
    mungkin inyo pulkam, atau minimal kalau tau kampuangnyo...urang kampuang biasonyo saling tau:)

    BalasHapus
  2. Tapi namonyo se lupo ni, soalnyo tabiaso manggia 'uni' 'uni' sajo. Rencana kalo pulang ka padang agak lamo, ewie nio caliak di data alumni tampek kuliahnyo dulu. Mudah2an basobok. Sedikit banyaknyo beliau turut membentuk ewie ^^

    BalasHapus