Selasa, 29 Desember 2009

Gamang

Bengkulu, 2 Juni 2009

Awan bergelayut malas di langit Ulu Talo ketika kami menginjakkan kaki pertama kali di kawasan yang dikelilingi bukit barisan itu. matahari malu-malu menampakkan sinarnya yang benderang. Mendung... Hatiku turut mendung. Apalagi ketika menangkap suasana sepi yang melingkupi kompleks Puskesmas dan rumah-rumah dinas dokter dan paramedis. Tidak terlihat satupun rumah penduduk dari tempat kami berdiri.
Gamang. Kami mengikuti langkah-langkah cepat para petugas dari Dinas Kesehatan Kabupaten Seluma yang mengantar rombongan kecil kami; dokter gigi PTT, aku sendiri sebagai dokter PTT, dan suamiku. Aura sunyi yang tadi mencekam seketika buyar ketika kami disambut oleh Kepala Puskesmas Ulu Talo, lelaki 40an tahun berbadan gempal dan bersuara besar dengan aksen Batak yang kental. Tumpak Damanik namanya. Beliau langsung memperkenalkan kami pada staf Puskesmas lainnya.
Setelah memberikan sedikit pengarahan sang Kapuskes mengantar kami melihat-lihat rumah dinas yang akan kami tempati. Rumah dinas dokter dan paramedis terletak tepat di belakang gedung  Puskesmas. Aku dipersilakan menempati rumah dinas bidan yang kebetulan tidak ditempati oleh bidan desa Hargo Binangun, desa dimana Puskesmas Kecamatan Ulu Talo berada. Rumah dinas bidan itu terletak di tengah, diapit rumah dinas dokter dan rumah dinas perawat. Terlihat kusam dan semrawut karena lama tak ditempati. Rumput dan ilalang tumbuh subur di pekarangan kiri kanan rumah. Sementara halaman belakang rumah penuh dengan pepohonan kecil dan belukar. Keadaan di dalam rumah tak kalah menyedihkannya. Lantai kotor penuh dengan kotoran serangga dan sarang laba-laba menempel di berbagai penjuru langit-langit. Sepanjang siang itu kami mulai sibuk membersihkan rumah hingga layak untuk ditempati, setidaknya untuk 1 malam saja.
Senja merayap lambat. Matahari berlalu tanpa menyisakan sedikitpun cahayanya. Aku semakin gamang. Tidak ada listrik.  Gelap gulita dan sunyi di Hargo Binangun. Hanya terdengar suara binatang malam bersahut-sahutan, yang di kemudian hari dijuluki ibu mertua "Oskestra Alam". Gamangku akhirnya tumpah di dada suami, ditemani buting-butir bening yang mengalir pelan di pipiku. Ya... Membayangkan harus hidup di tempat itu setahun ke depan, tangisku tak lagi terbendung. Kutanya hatiku, apakah benar ini yang kuinginkan? Ia tak berani menjawab.
Aku lelah. Kubiarkan hatiku menumpahkan rasa pada belahan jiwa yang tak akan kemana, setidaknya untuk saat itu. Batinku terlalu lelah untuk mencerna argumen-argumen yang dikemukakan logikaku agar aku komitmen dengan keputusan ini. Untuk saat itu biarlah hatiku mengadu. Sambil berharap, esok akan lebih cerah. Esok akan lebih kuat.

2 komentar:

  1. dibalik kesusahan pasti ada kebahagiaan

    BalasHapus
  2. Iya pak mukhlis, sesuai janji Allah "sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan". Makasi ya, salam kenal dan salam ukhuwah

    BalasHapus