Selasa, 17 Februari 2009

Suatu Sore di Stasiun Gambir

Jakarta, 4 Januari 2009

Bismillah..

Hari itu adalah salah satu hari yang berkesan dalam hidupku. Bukan saja karena itu kali pertama aku mengikuti aksi palestina bersama suami sejak pernikahan kami satu tahun lalu, namun juga karena pertemuanku dengan seseorang.

***

Rangkaian acara aksi menentang agresi Israel di depan kedubes AS baru saja ditutup. Rasa pegal pada tungkai yang sepanjang aksi tidak dirasakan mulai memperberat langkah kami, namun kewajiban pada Yang Maha Pengasih tetap harus ditunaikan. Aku dan suami memilih untuk sholat di masjid terdekat yang bisa kami capai, masjid di Stasiun KA Gambir. Selesai menunaikan shalat Ashar waktu sudah menunjukkan pukul 17.30. Lamanya waktu tempuh pulang ke Bekasi sepertinya akan membuat kami melewatkan kewajiban lainnya, sholat magrib. Rasanya tidak mungkin menunggu munculnya semburat merah langit di masjid yang penuh sesak oleh jamaah yang sedang dan hendak menunaikan sholat. Bingung mau menunggu dimana, akhirnya kami memutuskan untuk singgah di sebuah kedai kecil dan memesan 2 mangkok mie rebus dan 2 botol minuman dingin. Tak lama menunggu, pesanan tersaji dan segera saja kami menyantapnya. Mmm..terasa nikmat memang jika perut sedang lapar dan badan terasa lelah.

“Kak, bagi uang donk..buat makan”, suara itu mengejutkanku. Aku kaget. Disampingku telah berdiri seorang gadis kecil , kurus, agak kumal dan berambut merah yang memandangku dengan wajah mengharap. Hh...aku sedikit menghela napas. Entah sejak kapan aku enggan memberi uang pada anak-anak yang mencari uang dengan cara mengemis. Aku sudah akan minta maaf tidak bisa memberinya uang ketika tiba-tiba aku teringat ada sebungkus “oreo” di tasku. Aku merogoh tas, mengambil sebuah biskuit dan menyerahkan kepada gadis itu seraya berkata “Kue aja yah”. Dan seperti yang kuduga, wajahnya langsung sumringah. Dengan sigap tangan kecilnya mengambil biskuit di tanganku. Aku berharap gadis itu akan segera pergi setelah kuberi biskuit, tetapi sebaliknya ia tidak beranjak satu langkah pun.

“Diputer…”, katanya dengan riang. “Dicelupin!”, spontan aku menyambung ucapannya. “Bukan kak! Diputer…dijilat…dicelupin”, ujarnya menirukan sebuah iklan biskuit tersebut di televisi untuk mengoreksiku. Mau tak mau hal itu membuatku tersenyum dan terdorong untuk berinteraksi dengannya. “Namanya siapa?”, tanyaku. Dengan cepat gadis kecil itu menjawab, “Pungki”.  Sambil terus menyantap mie rebus yang masih hangat, aku kembali bertanya, “Pungki sudah sekolah belum?”. Ia menjawab “sudah”  dan bercerita kalau ia sekarang duduk di kelas 1 di sebuah sekolah dasar tak jauh dari stasiun gambir. Tanpa kuduga, ia balik bertanya, “Mienya pedas ya?”. Mungkin karena melihat aku makan dengan lambat sambil menarik dan menghembuskan napas seperti orang kepedasan. “Oh nggak kok, mienya masih panas”, jawabku.

Dari perbincangan kami selanjutnya aku jadi tahu bahwa ia tinggal berdua dengan ibunya di sebuah gubuk tak jauh dari stasiun Gambir. Ayahnya sudah meninggal. Aku tertarik untuk bertanya, “Siapa yang suruh Pungki minta-minta?”. Gadis berambut merah seperti rambut jagung itu bercerita bahwa ibunyalah yang menyuruh ia minta-minta untuk biaya sekolah, tentu saja dengan bahasa kanak-kanak lima tahunan. Pungki terus saja berceloteh tentang berbagai hal termasuk bahwa ia sering ke makam ayahnya dan ia tidak takut berada di kuburan. Aku terus mendengarkan sambil meneruskan makanku dan sekali-kali mengangguk-angguk menandakan aku menyimak ceritanya. Suamiku yang sudah lebih dahulu menghabiskan mie rebusnya tampak turut menyimak cerita Pungki.

“Kuenya nggak dihabisin?”, tanyaku pada Pungki karena kulihat ia belum menghabiskan Oreo yang kuberi. “Iya..kuenya enak”, jawab Pungki sambil mengunyah Oreo tersebut. “Habis makan, sikat gigi ya” ujarku. “Habis makan, cuci tangan terus sikat gigi”, sahut Pungki. Aku kembali tersenyum mendengarnya. “Pungki jangan sering minta-minta ya, terus belajar yang rajin biar pintar”, nasihatku padanya walau aku tahu ia akan terus meminta-minta. “Iya…minta-minta itu ngga boleh”, jawabnya. Sejurus kemudian, tanpa berkata-kata Pungki tiba-tiba berlari pergi. Ups… aku kaget juga. Apa karena kata-kataku? Entahlah. Yah, setidaknya aku dapat segera menghabiskan mie rebusku.

“Sudah bersih!”, sebuah suara kembali mengagetkanku. Pungki sudah berdiri lagi di sampingku sambil memperlihatkan tangan dan gigi-giginya. Oo, ternyata gadis kecil itu hanya pergi untuk cuci tangan. Aku  tersenyum dan dalam hati berkata “Hm…anak kecil memang ibarat spons, dengan cepat menangkap informasi di sekelilingnya”. Entah kenapa, detik itu aku jadi merasa Pungki anak yang istimewa. Mungkin karena ia begitu mudah dididik. Mungkin juga karena ia tak seperti anak-anak pengemis lainnya yang agak ‘memaksa’ dalam hal meminta-minta. Seingatku,hanya sekali saja Pungki meminta uang padaku.

Tak berapa lama akhirnya aku selesai memindahkan semangkok mie rebus tersebut ke dalam perut  dan segera saja kuhabiskan teh botol dingin kegemaranku. “Itu makannya ngga dihabisin?”, tanya Pungki sambil menunjuk mangkok mie rebusku  yang hanya tersisa separuh kuning telur, sedikit mie dan kuah. Aku menggeleng. Dengan mata berbinar Pungki berkata “Buat Pungki aja ya?” Aku langsung terhenyak, untuk sesaat aku terdiam dan akhirnya lemas aku menjawab,  “Iya…boleh”. Pungki segera menyambar mangkok mie itu dan memakan isinya yang tidak seberapa. Aku terus menatap pemandangan yang belum pernah kusaksikan seumur hidupku itu dengan hati terenyuh sambil berpikir, sebegitu susahnyakah kehidupan Pungki dan anak-anak lain sepertinya? Aku goyah. Apa tepat pendirianku selama ini untuk tidak memberi uang pada anak-anak yang meminta-minta karena tidak mau turut mendidik mereka bermental pengemis? Apakah prinsipku memberi sedekah hanya untuk orang yang kelihatannya memang tidak mampu mencari nafkah sudah tepat?  Belum selesai aku berdebat dengan diriku sendiri, Pungki berkata “Ga pedes kok”. Oh, ternyata ia sudah menghabiskan isi mangkok mie rebus tadi. Aku kembali terenyuh. Apa kupesankan saja mie rebus untuk anak ini? Belum sempat aku memutuskan, tiba-tiba Pungki berkata dengan terburu, “Pungki pergi dulu ya”. Sekejab sebelum ia berlari pergi aku menangkap lirikan matanya ke arah belakangku. Aku segera menoleh ke belakang dan melihat seorang wanita bertubuh gemuk, berpenampilan sama lusuhnya dengan Pungki menggamit tangan gadis kecil itu dan membawanya pergi.

“Mungkinkah ibunya?”, tanyaku dalam hati. Ibu yang menyuruhnya meminta-minta agar dapat menafkahi hidup mereka berdua? Mungkin... Aku merenung, sampai saat akhir pertemuan kami Pungki tetap tidak mengulang untuk meminta uang. Lagi-lagi aku merasa Pungki adalah anak yang istimewa.

 Azan magrib bergema, aku dan suami segera beranjak ke masjid terdekat untuk menunaikan kewajiban kepada Yang Maha Pencipta.Yang menciptakan aku, Pungki, semua orang dan semesta alam. Yang tidak membeda-bedakan hamba-Nya berdasarkan kekayaan,kecantikan, jabatan, suku bangsa melainkan ketakwaan… Hari sudah mulai gelap ketika kami menaiki bus AC Mayasari Bhakti yang akan membawa kami pulang. Sepanjang perjalanan aku terus teringat pada Pungki sampai akhirnya suasana dingin, suara gitar dan nyanyian sumbang seorang pengamen mengantarkanku pada tidur lelapku.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar