Selasa, 23 November 2010

Catatan Sebulan di Geoje (1)

Okpo, 23 November 2010

Catatan yang lama numpuk di draft. Sayang kalau dibiarkan berlumut. Buat yang baca selamat menikmati...

***

Kami memasuki Korea lewat bandara internasional Gimhae di Busan setelah sebelumnya transit di Hongkong selama 5 jam. Kekhawatiran terbesar saya sejak meninggalkan Jakarta adalah bagaimana nasib rendang buatan amak yang khusus saya 'import' dari Padang. Berdasarkan info yang saya dapat di internet, sulit meloloskan produk hewani ketika kita memasuki suatu negara. Di beberapa negara bahkan ditugaskan anjing pelacak untuk mengendus bahan 'terlarang' tersebut. Debar jantung saya semakin kencang ketika kami mendarat, duh rendangku, tak terbayang jika harus membuangmu. Namun, sungguh di luar dugaan saya, kami bisa melenggang santai membawa bagasi keluar bandara, TANPA PEMERIKSAAN APAPUN, persis seperti saat kita mengambil bagasi di bandara Soeta. Hamdalah, syukur saya tak terkira saat itu. Setidaknya hari-hari pertama kami tidak perlu khawatir dengan makanan halal, ada rendang sebagai lauk.

Sayang kami tak sempat menikmati keindahan Busan yang disebut sebagai the most beautiful coastal city in Korea karena begitu keluar bandara seorang pria berpakaian rapi menegur kami sambil membawa karton bertuliskan nama suami. Tanpa banyak basa-basi pria tersebut langsung mengambil alih salah satu koper dan membimbing kami menuju tempat parkir. Saya kaget waktu ia berhenti dan memasukkan barang-barang kami ke sebuah mobil yang tak lain adalah taksi. Haha...saya pikir yang menjemput kami adalah petugas dari DSME, ternyata taksi. Pak supir taksi menginformasikan perjalanan Busan-Okpo akan kami tempuh dalam waktu 2 jam (sejak diresmikannya jembatan yang menghubungkan Geoje-do dengan semenanjung Korea akhir Desember lalu, perjalanan Okpo-Busan lewat darat bisa ditempuh hanya dalam waktu 50 menit). Saya sungguh ingin sekali menikmati perjalanan dan memandangi atmosfir Korea yang berbeda dengan Indonesia, namun kantuk saya sudah tak tertahankan setelah perjalanan panjang yang melelahkan.

Saya baru benar-benar terbangun ketika kami memasuki pusat kota Okpo. Taksi berhenti di sebuah apartemen. Pak Supir menyodorkan tagihan taksi sebanyak 150.000 won (1 won = Rp.8) yang membuat kami sempat kelabakan karena tidak punya cash sebanyak itu. Ketika suami menanyakan apakah pembayaran bisa dilakukan dengan kartu kredit, pak supir dengan sigap menyiapkan sebuah alat dan menggesekkan kartu kredit disana. Saya terpana, wah canggih!!!



Senin, 01 November 2010

Yes, We're in Korea!

It was about a month ago when my husband confirmed his next assignment to Korea. As he promised that he would take me with him, i was so excited. It would be my first time going abroad. And it's Korea! Again, i was so excited. 

After a 16 hours journey, we finally arrived at Okpo, Geoje City, located in the province of South Gyeongsang, South Korea. This city is made up of several islands, Geoje island is among the largest. Here, in Okpo, we can see the world third largest shipyards industry, Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering/DSME (FYI, world first and second largest shipyard industries are also located in Korea; Hyundai Heavy Industries in Mipo Bay, Ulsan City and Samsung Heavy Industries in Gohyeon, also located in Geoje Island). And yes, they're building very huge ships i've never seen in my life before. About one-third of the city population depend their life on the shipbuilding industry.

When firstly arrived, i was kind of a bit nervous about the acceptance of Korean. Especially when dealing with my very different way of clothing; covered from head to toe (as how a muslimah should be dressing). Because, based on what i got from the internet prior to my arrival in Korea, i had the impression that Korean are not very open-minded about multicultural. Some say Korean will stare at foreigners all the way down from head to toe. I couldn't imagine on how they will look at me. But, i was proven wrong. At least in Okpo, i rarely got that kind of look. It seems like the citizen here have already used to foreigners. I was amazed of how numerous are foreigners from different countries working in this small city, mostly from India, Philipine, and western countries. Sometimes, i was surprised when someone greet me in the street by saying  "annyeonghaseyo" which means "Hello". The hospitality and the fresh air warm my heart up and immediately make me feel like home =)

My husband and i were very concern about what we're gonna eat here. As muslims, we have to make sure that everything that goes down into our stomach is "halal", which means free from anything  forbidden in Islam; like pork, alcohol, and animals slaughtered not in the name of Allah. But, lucky us (all praise to Allah), right after arriving in Okpo, we found 2 foreign marts with a "halal" sign written in their front window, not very far from our apartemen. They sell  "halal" frozen chickens and meats (i guess they imported those items from Malaysia), Indonesian very famous noddle, and many other Indonesian products.   

We're also very lucky that we come to Korea in winter time, which is considered by Korean as the best season in Korea. We get the chance to feel the very cold weather that we might never experience in Indonesia. Hopefully we could also see snow falls from the sky.

Well, it's been a week now. So far, i' m still very much enjoying living in Korea. And one more thing, among the most important ones, Geoje island offers us many beautiful sceneries. Next time i' ll share some nice pictures of it, insya Allah.



Rabu, 27 Oktober 2010

My beautiful flowers




Risih melihat pekarangan rumah dinas yang gersang waktu pertama datang didukung banyaknya waktu luang, akhirnya saya putuskan untuk menyemarakkannya dengan bunga dan tanaman lainnya.
Sembari silaturahim ke rumah warga saya sempatkan meminta sedikit bibit tanaman bunga dari halaman rumah mereka. Saya pikir tanaman-tanaman tersebut baru akan berbunga setelah saya selesai PTT, tak disangka belum sampai 6 bulan sudah ada yang mulai berbunga. Dan tak sampai 1 tahun, semua tanaman sudah menampakkan bunganya dan menyemarakkan pekarangan rumah dinas saya.
Takjub sekali rasanya. Salah satu yang paling membuat saya sedih saat akan meninggalkan ulu talo adalah bagaimana nasib bunga-bunga itu jika nanti saya pergi?

Kenangan pertama datang




Ini adalah foto-foto yang sempat saya ambil ketika awal-awal mengabdi di Ulu Talo. Selalu rindu untuk kembali jika melihat foto-foto ini

Senin, 25 Oktober 2010

My First Baby in Ulu Talo

Malam itu adalah salah satu malam di pekan pertama Ramadhan tahun 2009. Azan isya baru saja berkumandang saat pintu depan rumah dinas diketok. Suami yang baru datang 2 hari sebelumnya membukakan pintu. Dalam keremangan cahaya dari lampu teplok saya mendengarkan dengan seksama perbincangan suami dengan 2 orang tamu laki-laki yang mengetok malam itu. Benar saja. Seperti dugaan saya, mereka datang untuk menjemput saya. Salah seorang saudara perempuannya hendak melahirkan sedangkan bidan PTT yang bertugas di desa mereka sedang tidak ditempat. Hfft...saya menghembuskan nafas dengan berat. Bagaimana tidak? Sudah berlalu kira-kira 2 tahun sejak terakhir kali saya membantu persalinan saat masih koas dulu. Itupun saya selalu didampingi dokter, bidan, maupun rekan sesama koas.

Setelah selesai berpakaian menutup aurat, saya menemui kedua tamu tersebut. Dengan hati yang ketar ketir saya mengajukan beberapa pertanyaan dan meminta mereka untuk menunggu. Saya ambil peralatan seadanya, dengan harapan setelah selesai memeriksa ibu yang hendak melahirkan saya bisa pulang kembali ke rumah dinas untuk menyiapkan obat dan alat yang dibutuhkan untuk membantu persalinan. Awalnya saya berharap suami bisa ikut mengantar, namun ternyata tempatnya sangat jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki dan kedua tamu tersebut hanya membawa satu motor. Akhirnya setelah berdiskusi singkat, kami memutuskan bahwa saya akan dibonceng oleh salah seorang tamu, sedangkan rekannya menunggu di rumah dinas bersama suami, hitung-hitung sebagai jaminan.

Ketika kami baru saja berangkat, gerimis yang sedari sore sudah membayang menjadi semakin riuh dan mulai berubah menjadi titik-titik hujan. Saya merasakan percikan air di wajah yang saat saya seka ternyata bukan air, melainkan lumpur. Hfff...kembali saya menghembuskan nafas dengan berat. Beginilah penderitaan dokter PTT yang mau tidak mau harus saya terima sebagai konsekuensi pilihan saya. Bismillah, semoga saya bisa kembali meluruskan niat dan Allah memudahkan perjalanan kami yang sepertinya akan berat. Ternyata memang, semakin jauh perjalanan, semakin jelek juga jalan yang kami lalui. Jalan tanah berbatu yang diguyur hujan menjadi sangat licin dan mendebarkan. Beberapa kali motor terpeleset dan terguncang sehingga saya harus semakin mengencangkan pegangan pada badan motor.

Perjalanan melelahkan itu berakhir saat motor berhenti di sebuah rumah kayu yang (lagi-lagi) berlantai tanah. Sudah ramai sekali orang berkumpul di depan dan di dalam rumah. Saya langsung dipersilahkan untuk menemui sang calon ibu yang sedang meringis kesakitan. Perempuan itu  masih sangat muda dan saya sudah tidak heran lagi. Tidak banyak pilihan yang tersedia bagi pemuda pemudi di Ulu Talo begitu mereka menamatkan bangku SLTP. Melanjutkan SMU ke kota kabupaten (yang tentu saja memakan biaya tidak sedikit) atau ikut membantu orang tua bekerja di kebun atau menikah muda.

Saya mencoba tersenyum dan berusaha terlihat meyakinkan saat menjelaskan proses persalinan yang akan dialami perempuan itu. Karena anak pertama, prosesnya mungkin akan sangat lama dan menyakitkan. Pemeriksaan pun saya coba lakukan dengan santai (walau hati masih ketar ketir) agar saya dan calon ibu serta keluarga yang rata-rata menunjukkan wajah cemas juga bisa sedikit relaks.

Kontraksi rahim sudah teratur, leher rahim sudah terbuka selaput ketuban masih utuh. Saya jelaskan bahwa bukaan leher rahim masih kecil. Sekilas saya tatap jam di tangan saya yang menunjukkan pukul 20.30. Saya perkirakan pembungkaan lengkap paling cepat baru akan tercapai pukul 1 dini hari. Hal itu saya sampaikan pada calon ibu dan keluarganya yang disambut dengan celetukan "apa nggak disuntik dorong saja dok?". Hfff...kali ketiga saya menghembuskan napas dengan berat malam itu, ada saja yang bersikap 'sok tahu'. Kembali saya jelaskan tentang fisiologi persalinan normal dengan bahasa yang saya coba sedekat mungkin dengan mereka hingga saya anggap tak ada lagi ganjalan tentang 'suntik dorong'.
Akhirnya saya pamit sementara waktu untuk kembali ke rumah dinas dengan alasan menjemput perlengkapan yang belum terbawa. Walau dengan berat hati, akhirnya mereka mengijinkan.

Ketika saya sampai kembali di rumah dinas waktu sudah hampir menunjukkan pukul 22.00. Dengan kaki bergetar karena lelah saya memasuki rumah dinas yang tidak terkunci. Di ruang tamu, lelaki yang tadi ikut menjemput saya sedang tertidur dengan lelap. Di dekatnya saya lihat tersaji segelas air dan sepiring kurma. Saya tersenyum, pasti suami yang menghidangkannya untuk tamu tersebut. Pria yang membonceng saya kembali ke rumah segera membangunkan temannya dan berpamitan sambil menanyakan jam berapa saya akan dijemput kembali.

Setelah mandi dan membersihkan badan yang penuh lumpur, saya shalat dan memanjatkan doa panjang pada Allah, agar proses persalinan yang akan saya hadapi berjalan lancar. Sejenak saya buka kembali Bab Asuhan Persalinan Normal di buku kebidanan yang saya bawa untuk menyegarkan kembali ingatan saya. Setelah yakin sudah menyiapkan seluruh alat dan obat-obatan yang diperlukan nantinya saya mencoba memicingkan mata sejenak, tidak mudah ternyata. Rasanya saya baru saja berada pada kondisi peralihan antara bangun dan tidur ketika pintu rumah kembali diketok. Hmmm...rasanya saya tadi minta dijemput jam 1, nyatanya jam 23 lewat saya sudah dijemput lagi. Saya maklum dengan kepanikan keluarga, tidak tenang memang, kalau tenaga kesehatan tidak mendampingi. Meski masih lelah akhirnya saya berangkat saat itu juga.

***

Pukul 2 dini hari. Pembukaan telah lengkap dan kepala bayi sudah terlihat di pintu kemaluan. Saya mulai memimpin sang calon ibu untuk meneran. Berkali-kali ia mengejan namun ternyata ia sudah kehabisan tenaga karena menahan sakit sejak siang. Saya minta bantuan salah seorang keluarga untuk membantu mendorong perut dari atas, tetap sia-sia. Satu jam berlalu, si ibu tidak bisa mengejan dengan baik. ia sudah kehabisan tenaga. Saya mulai panik. Kata-kata penyemangat yang saya lontarkan tetap tidak mampu membangkitkan semangat si ibu. Saya mulai putus asa. Dengan panik saya perintahkan keluarga untuk memanggil Pak Manik beserta mobil Pusling sebagai persiapan merujuk ke Bengkulu.

Akhirnya saya coba menenangkan diri dan menarik napas dalam seraya berkata dalam hati "pasti bisa!". Saya tatap mata perempuan yang sudah kepayahan itu dan dengan yakin berkata "ayo, kamu pasti bisa sayang. Kasian dedeknya udah kelamaan. Ayo, kamu pasti bisa". Dan sungguh menakjubkan, sugesti yang saya berikan entah kenapa membuat ibu muda itu kembali bersemangat. Ia mengejan dengan sekuat tenaga, beberapa kali hingga akhirnya kepala bayi keluar dengan sempurna. Sampai disana saya sudah lega luar biasa, karena tugas saya selanjutnya sudah jauh lebih mudah. Dengan tangan bergetar saya bersihkan mulut dan hidung bayi dan selanjutnya bahu atas dan bawah lahir dengan mudah. Bayi itu menangis kencang, disambut ucapan Hamdalah dari semua yang hadir di ruangan itu.

Di penghujung malam itu, selesai menjahit luka robekan paska melahirkan saya memandangi keluarga kecil berbahagia itu dengan perasaan haru. Kepada sang suami saya sampaikan bahwa istrinya adalah wanita yang luar biasa dan berpesan agar menjaga dan mendidik anak yang sudah Allah titipkan sebaik mungkin, menjadi anak yang sholih.

Malam itu menjadi salah satu malam terindah dan berkesan dalam hidup saya. Masih jelas teringat rasa haru dan syukur pada malam itu. Pertolongan Allah sangatlah dekat, bagi hamba-hamba-Nya yang yakin. Allah Maha Penyayang. Terima kasih ya Allah...

 

Sabtu, 03 Juli 2010

Pride and Prejudice

Rating:★★★★★
Category:Movies
Genre: Classics
Sungguh, kali ini saya benar-benar terpesona dengan film satu ini. Terpesona akan kesederhanaan temanya, terpesona akan musik latarnya, terpesona akan nilai-nilai moral abad pertengahan yang tetap berusaha dijaga.

Film ini diangkat dari novel Jean Austen dengan judul yang sama. Berkisah tentang sebuah keluarga sederhana dengan 5 orang anak perempuan yang beranjak dewasa. Tokoh sentral dalam kisah ini bernama Elizabeth/Liz, si anak kedua yang berani, periang, senang tersenyum namun sekaligus berwatak keras dan mempunyai harga diri yang tinggi.

Cerita ini mulai menarik ketika Liz dengan segala karakternya itu bertemu dengan pria kaya berwatak dingin, terkesan sombong dan cenderung kurang menghargai orang lain. Di tengah "perang dingin" dan kesalahpahaman yang kerap terjadi, tanpa disadari tumbuh bibit cinta di hati masing-masing.

Bagaimana mereka mengatasi perbedaan yang ada serta mampukah mereka mendamaikan ego dan harga diri masing-masing? Saksikan sendiri yah ;)


Film ini dijamin bebas adegan tak patut :)

Jumat, 02 Juli 2010

Cempedak Berbuah Nangka?

Dari dulu saya selalu bingung dengan pepatah di atas. Apa maksudnya cempedak berbuah nangka? Bukankah cempedak adalah nangka dan nangka adalah cempedak? Kenapa pula harus dibuat peribahasa seperti itu?

Dengan agak malu, di tulisan ini saya harus mengakui kalau saya baru tahu bahwa cempedak dan nangka tidaklah sama, melainkan memang dua jenis buah yang berbeda walaupun memang memiliki beberapa kemiripan. Setelah hidup selama 27 tahun barulah saya mengetahui fakta itu. Bukan lewat google ataupun ensiklopedia, melainkan lewat sebuah jalan-jalan sore yang menyenangkan di pertengahan Januari 2010.

Sore itu matahari masih begitu terik dan saya bosan setengah mati tidak tahu mau melakukan apa. Buku-buku yang saya bawa sudah habis dibaca, TTS sudah penuh terisi, baterai HP dan Laptop sudah kritis. Beruntung 2 sahabat sesama "penjaga" Puskesmas Ulu Talo menawarkan untuk ikut ke Mekar Jaya, desa yang berjarak kurang lebih 5 km dari tempat saya tinggal. Mau mencari cempedak katanya. Aha! Kebetulan sekali, rasa penasaran saya akan "cempedak berbuah nangka" bisa terjawab dan saya selamat dari "bencana mati gaya" sore itu. Yap, akhirnya saya putuskan untuk ikut.

Setelah melewati jalanan tanah dan berbatu mobil pusling kami akhirnya menepi di sebuah rumah kayu yang nyaman. Kami disambut seorang pria muda berwajah serius yang langsung mengenali 2 sahabat saya. Sedikit basa-basi, agak malu-malu kami utarakan maksud kedatangan kami mencari (baca: meminta) cempedak. Wajah tuan rumah terlihat agak menyesal karena sepertinya tamunya akan kecewa. Musim cempedak sudah hampir berakhir dan tidak banyak buah yang tersisa. Sejenak ia ke belakang rumah dan kembali dengan 4 buah cempedak matang.

Wow...jadi ini yang namanya cempedak! Ternyata memang berbeda dengan nangka. Ukuran cempedak jauh lebih kecil, bentuknya lonjong dan kulitnya lebih tajam. Coba saja lihat foto di bawah ini...
Lihat lebih dekat...


Hal yang membuat saya sangat tertarik sekaligus terkaget-kaget tentang cempedak adalah cara membukanya yang unik dan beda. Sangat beda dengan cara mengupas nangka.

Pertama, kulit cempedak dibelah memanjang di bagian tengah:
Kedua, bagian yang sudah dibelah ditarik dengan kedua tangan dengan arah berlawanan secara perlahan.Terlihat daging buah menempel ke semacam tangkai seperti susunan buah anggur.

Ketiga, perlahan buah dikeluarkan dari kulitnya dengan cara memegang tampuk buah dan menarik ke atas perlahan-lahan.
Nah, sekarang buah siap dinikmatiUkuran isi buah cempedak jauh lebih kecil daripada nangka, hanya sedikit lebih besar dari buah anggur. Rasanya sangat manis, daging buah lebih berserat dan berair dari pada nangka.

Itulah pertama kali saya melihat dan memakan buah cempedak, mudah-mudahan lain waktu saya berkesempatan kembali mencicipi buah beraroma manis tersebut.

Sayang sekali, sampai sekarang saya masih belum menemukan arti pepatah "cempedak berbuah nangka". Kali ini, mungkin lebih baik saya bertanya ke om google saja :)

Senin, 11 Januari 2010

Jerit Hati

Hhh...tatapan itu lagi. Tak bisakah mereka berhenti mengusikku dengan tatapan itu? Kadang tatapan iba. Lebih sering berupa celaan. Selalu dan selalu diikuti bisik-bisik tak sedap.
Kutatap bocah kecil ini. Bocah yang telah menemani kesendirianku setahun terakhir. Maafkan ibu Nak, selalu menatapmu dengan tatapan prihatin. Entah bagaimana masa depanmu nanti. Syukur kau terlahir sebagai seorang laki-laki. Coba kalau kau wanita. Kau akan mendapat cap yang sama denganku. Entah bagaimana aku akan menikahkanmu kelak.
Pria yang sering kau tanyakan sebagai ayahmu? Mana dia peduli! Ia telah hidup tenang dengan keluarganya. Boro-boro kau mengharap ia akan mendekapmu erat penuh kasih sayang. Atau membelikanmu es potong. Menyapa kita pun tidak, Nak. Seolah tak pernah terjadi apa-apa antara aku dan dia.
Aku yang salah. Aku yang bodoh. Begitu gampangnya termakan rayuan pria beristri itu. Ketika perutku membuncit ia lepas tangan. Keluarganya pun seolah menutup mata. Istrinya matia-matian menghinaku. Aku sungguh menyesal. Kasihan sekali bapak ibu. Tak pernah kusangka akan membuat mereka malu demikian rupa.

Tatapan itu lagi. Bisik-bisik itu lagi. Entah sampai kapan. Kau pun harus menanggungnya anakku. Maafkan ibu...


*saat hujan di ulu talo*

Kamis, 07 Januari 2010

Sendiri Dulu

Ulu Talo, Juni 2009

Masa cuti telah berakhir. Tugas sudah memanggil. Tiba waktunya bagi Mas untuk kembali ke Jakarta, yang berarti Ewie harus tinggal sendiri di Ulu Talo. Beberapa hari sebelum kepulangan MAs ke Jakarta Ewie telah mempersiapkan hati agar tidak terlalu sedih ketika Mas pergi.
Kutatap wajahnya, kucium tangannya. Kulepas kepergiannya dengan hati sendu, tapi hamdallah tiada air mata yang mengalir. Ewie tidak ingin Mas khawatir.
Sendiri dulu. Sepulang dari Puskesmas yang hanya berjarak 10 meter dari rumah dinas tidak ada lagi yang menyambut Ewie. Hanya rumah kosong yang masih harus dibenahi. Yah, tidak apa-apa. Inilah konsekuensi mempunyai jiwa petualang.
Mengabdi sebagai dokter PTT di daerah sangat terpencil telah menjadi cita-cita dan idealisme Ewie sejak dulu. Sejak sebelum menikah dengan Mas telah Ewie utarakan padanya mengenai hasrat yang satu itu. Setelah menikah Mas menepati janjinya untuk mengizinkan Ewie PTT. Beberapa kali rencana PTT gagal oleh satu dan lain hal. Sempat pula Ewie memutuskan untuk melupakan cita-cita mengabdi di pelosok negeri itu dan ikut kemana Mas bertugas. Sayangnya hati tidak bisa dibohongi. Negeri terus memanggil. Ewie tak tenang karena hutang pada hasrat belum juga terbayarkan.
Yah, akhirnya tersampaikan juga cita-cita yang sempat terpendam itu. Mas dan keluarga besar memberi restu, dengan syarat tempatnya harus benar-benar aman dan gampang dikunjungi (murah ongkos transportnya :p). Berarti wilayah Indonesia bagian timur tercoret dari daftar daerah tujuan PTT Ewie. Pulau Sumatera akhirnya kami anggap tempat yang paling sesuai.
Akhirnya, di sinilah Ewie. Di Ulu Talo. Sebuah kecamatan di Propinsi Bengkulu.
Beginilah Ewie, sendiri dulu. Semoga Allah meridhoi...


* Satu tahun. Hanya itu yang Ewie minta dari Mas. Sesudahnya... I'll always be by your side...Insya Allah*

Selasa, 05 Januari 2010

Uni

Tak banyak yang kuingat tentangnya. Bahkan namapun tidak. Namun kenangan akan keikhlasan dan kesabarannya begitu membekas di hati
                                                                   ***

Suatu hari di masa kanak-kanakku mama membawa seorang perempuan muda ke rumah. Beliau memperkenalkan perempuan bertubuh mungil itu sebagai guru mengaji kami yang baru. Tanggung jawab mempersiapkan bekal agama untuk kami yang harus terganjal kesibukannya sebagai wanita pekerja membuat mama terpaksa menitipkan tugas tersebut pada perempuan muda itu.
Kami memanggilnya 'Uni". Penampilannya sungguh tidak biasa untuk era 90-an awal itu; jilbab lebar dengan setelan blus panjang dan rok warna senada, lengkap dengan kaos kaki yang tak lepas dari sepasang kaki yang rutin mengantarnya setiap pekan ke rumah kami.
Uni mengajari kami satu per satu. Tak hanya mengupayakan kami pintar baca Qur'an, di setiap pertemuan ia perkenalkan juga kami dengan berbagai hadist. Aku ingat betul bagaimana Uni menuliskan hadist-hadist tersebut di kertas-kertas kecil dan membagikannya pada kami berempat (aku dan 3 kakakku) untuk dibahas. Ia juga mendorongku untuk menghapal Al-Qur'an. Malu nian rasanya jika belum bisa menyetorkan hapalan yang Uni tugaskan pada pertemuan sebelumnya.
Kadang kami malas mengaji hingga menampakkan muka masam padanya. Namun Uni tak pernah terlihat marah. Tutur halus dan senyum tulus tetap menemaninya dalam membimbing kami.
Suatu hari Uni menyampaikan kabar bahwa ia tak bisa lagi membersamai kami belajar Qur'an dan Islam. Ia sakit. Paru-paru basah katanya. Istilah yang masih asing untuk otak kecilku saat itu. Aku merasa kehilangan. Namun aku juga sedikit girang karena terlepas dari rutinitas mingguan yang membuatku harus berhenti bermain dan menonton tv sejenak.
Beberapa bulan setelahnya Uni sering menanyakan kabar kami lewat telepon. Setelah beberapa tahun pun Uni kadang masih menelepon. Hingga suatu saat, suara lembutnya tak pernah lagi kami dengar.
Menginjak dewasa sosok Uni kembali menguat dalam memoriku. Semakin kuat dan kuat hingga menjelma menjadi rasa rindu ingin bertemu. Kadang rindu itu hadir sebagai butir bening di mataku yang diiringi untaian doa semoga Allah mempertemukan kami kembali suatu saat nanti. Pernah kutanyakan pada mama tentang keberadaannnya. "Entahlah nak. Mama pernah mendatangi kost-an lamanya. Uni tak lagi disana. Padahal mama juga ingin bertemu", begitu jawaban mama.

Ingin sekali bertemu. Ingin sekali memamerkan cara berpakaiannya yang dulu kuanggap asing, kini juga telah menemani keseharianku. Ingin sekali memperkenalkan lelaki sholeh berhati penyabar yang kini mendampingiku. Ingin sekali memeluk Uni dan mengucapkan "Mencintaimu karena Allah'". Semoga Allah memperkenankan...



Sabtu, 02 Januari 2010

Fort Marlborough




Senang sekali hari ini. Sudah lama tidak merasa sesenang ini. Mertua bela-belain datang berkunjung ke pelosok. Hamdallah diberi banyak kemudahan oleh Allah untuk bisa menyambut beliau berdua sebaik mungkin. Terutama bisa mengajak Bapak Ibu ke kota Bengkulu dan mengunjungi tempat-tempat menawan ini. Dan siapa sangka bisa jalan-jalan bareng yenia, saudariku tersayang, azzam ndut, mamah dan yanti.
Senang sekali waktu mendengar Bapak tertawa lepas di Fort Marlborough dan bernyanyi riang di kamar mandi saat sudah kembali ke hotel. Terima kasih ya Allah bisa membahagiakan beliau berdua hari ini :)