Rabu, 27 Oktober 2010

My beautiful flowers




Risih melihat pekarangan rumah dinas yang gersang waktu pertama datang didukung banyaknya waktu luang, akhirnya saya putuskan untuk menyemarakkannya dengan bunga dan tanaman lainnya.
Sembari silaturahim ke rumah warga saya sempatkan meminta sedikit bibit tanaman bunga dari halaman rumah mereka. Saya pikir tanaman-tanaman tersebut baru akan berbunga setelah saya selesai PTT, tak disangka belum sampai 6 bulan sudah ada yang mulai berbunga. Dan tak sampai 1 tahun, semua tanaman sudah menampakkan bunganya dan menyemarakkan pekarangan rumah dinas saya.
Takjub sekali rasanya. Salah satu yang paling membuat saya sedih saat akan meninggalkan ulu talo adalah bagaimana nasib bunga-bunga itu jika nanti saya pergi?

Kenangan pertama datang




Ini adalah foto-foto yang sempat saya ambil ketika awal-awal mengabdi di Ulu Talo. Selalu rindu untuk kembali jika melihat foto-foto ini

Senin, 25 Oktober 2010

My First Baby in Ulu Talo

Malam itu adalah salah satu malam di pekan pertama Ramadhan tahun 2009. Azan isya baru saja berkumandang saat pintu depan rumah dinas diketok. Suami yang baru datang 2 hari sebelumnya membukakan pintu. Dalam keremangan cahaya dari lampu teplok saya mendengarkan dengan seksama perbincangan suami dengan 2 orang tamu laki-laki yang mengetok malam itu. Benar saja. Seperti dugaan saya, mereka datang untuk menjemput saya. Salah seorang saudara perempuannya hendak melahirkan sedangkan bidan PTT yang bertugas di desa mereka sedang tidak ditempat. Hfft...saya menghembuskan nafas dengan berat. Bagaimana tidak? Sudah berlalu kira-kira 2 tahun sejak terakhir kali saya membantu persalinan saat masih koas dulu. Itupun saya selalu didampingi dokter, bidan, maupun rekan sesama koas.

Setelah selesai berpakaian menutup aurat, saya menemui kedua tamu tersebut. Dengan hati yang ketar ketir saya mengajukan beberapa pertanyaan dan meminta mereka untuk menunggu. Saya ambil peralatan seadanya, dengan harapan setelah selesai memeriksa ibu yang hendak melahirkan saya bisa pulang kembali ke rumah dinas untuk menyiapkan obat dan alat yang dibutuhkan untuk membantu persalinan. Awalnya saya berharap suami bisa ikut mengantar, namun ternyata tempatnya sangat jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki dan kedua tamu tersebut hanya membawa satu motor. Akhirnya setelah berdiskusi singkat, kami memutuskan bahwa saya akan dibonceng oleh salah seorang tamu, sedangkan rekannya menunggu di rumah dinas bersama suami, hitung-hitung sebagai jaminan.

Ketika kami baru saja berangkat, gerimis yang sedari sore sudah membayang menjadi semakin riuh dan mulai berubah menjadi titik-titik hujan. Saya merasakan percikan air di wajah yang saat saya seka ternyata bukan air, melainkan lumpur. Hfff...kembali saya menghembuskan nafas dengan berat. Beginilah penderitaan dokter PTT yang mau tidak mau harus saya terima sebagai konsekuensi pilihan saya. Bismillah, semoga saya bisa kembali meluruskan niat dan Allah memudahkan perjalanan kami yang sepertinya akan berat. Ternyata memang, semakin jauh perjalanan, semakin jelek juga jalan yang kami lalui. Jalan tanah berbatu yang diguyur hujan menjadi sangat licin dan mendebarkan. Beberapa kali motor terpeleset dan terguncang sehingga saya harus semakin mengencangkan pegangan pada badan motor.

Perjalanan melelahkan itu berakhir saat motor berhenti di sebuah rumah kayu yang (lagi-lagi) berlantai tanah. Sudah ramai sekali orang berkumpul di depan dan di dalam rumah. Saya langsung dipersilahkan untuk menemui sang calon ibu yang sedang meringis kesakitan. Perempuan itu  masih sangat muda dan saya sudah tidak heran lagi. Tidak banyak pilihan yang tersedia bagi pemuda pemudi di Ulu Talo begitu mereka menamatkan bangku SLTP. Melanjutkan SMU ke kota kabupaten (yang tentu saja memakan biaya tidak sedikit) atau ikut membantu orang tua bekerja di kebun atau menikah muda.

Saya mencoba tersenyum dan berusaha terlihat meyakinkan saat menjelaskan proses persalinan yang akan dialami perempuan itu. Karena anak pertama, prosesnya mungkin akan sangat lama dan menyakitkan. Pemeriksaan pun saya coba lakukan dengan santai (walau hati masih ketar ketir) agar saya dan calon ibu serta keluarga yang rata-rata menunjukkan wajah cemas juga bisa sedikit relaks.

Kontraksi rahim sudah teratur, leher rahim sudah terbuka selaput ketuban masih utuh. Saya jelaskan bahwa bukaan leher rahim masih kecil. Sekilas saya tatap jam di tangan saya yang menunjukkan pukul 20.30. Saya perkirakan pembungkaan lengkap paling cepat baru akan tercapai pukul 1 dini hari. Hal itu saya sampaikan pada calon ibu dan keluarganya yang disambut dengan celetukan "apa nggak disuntik dorong saja dok?". Hfff...kali ketiga saya menghembuskan napas dengan berat malam itu, ada saja yang bersikap 'sok tahu'. Kembali saya jelaskan tentang fisiologi persalinan normal dengan bahasa yang saya coba sedekat mungkin dengan mereka hingga saya anggap tak ada lagi ganjalan tentang 'suntik dorong'.
Akhirnya saya pamit sementara waktu untuk kembali ke rumah dinas dengan alasan menjemput perlengkapan yang belum terbawa. Walau dengan berat hati, akhirnya mereka mengijinkan.

Ketika saya sampai kembali di rumah dinas waktu sudah hampir menunjukkan pukul 22.00. Dengan kaki bergetar karena lelah saya memasuki rumah dinas yang tidak terkunci. Di ruang tamu, lelaki yang tadi ikut menjemput saya sedang tertidur dengan lelap. Di dekatnya saya lihat tersaji segelas air dan sepiring kurma. Saya tersenyum, pasti suami yang menghidangkannya untuk tamu tersebut. Pria yang membonceng saya kembali ke rumah segera membangunkan temannya dan berpamitan sambil menanyakan jam berapa saya akan dijemput kembali.

Setelah mandi dan membersihkan badan yang penuh lumpur, saya shalat dan memanjatkan doa panjang pada Allah, agar proses persalinan yang akan saya hadapi berjalan lancar. Sejenak saya buka kembali Bab Asuhan Persalinan Normal di buku kebidanan yang saya bawa untuk menyegarkan kembali ingatan saya. Setelah yakin sudah menyiapkan seluruh alat dan obat-obatan yang diperlukan nantinya saya mencoba memicingkan mata sejenak, tidak mudah ternyata. Rasanya saya baru saja berada pada kondisi peralihan antara bangun dan tidur ketika pintu rumah kembali diketok. Hmmm...rasanya saya tadi minta dijemput jam 1, nyatanya jam 23 lewat saya sudah dijemput lagi. Saya maklum dengan kepanikan keluarga, tidak tenang memang, kalau tenaga kesehatan tidak mendampingi. Meski masih lelah akhirnya saya berangkat saat itu juga.

***

Pukul 2 dini hari. Pembukaan telah lengkap dan kepala bayi sudah terlihat di pintu kemaluan. Saya mulai memimpin sang calon ibu untuk meneran. Berkali-kali ia mengejan namun ternyata ia sudah kehabisan tenaga karena menahan sakit sejak siang. Saya minta bantuan salah seorang keluarga untuk membantu mendorong perut dari atas, tetap sia-sia. Satu jam berlalu, si ibu tidak bisa mengejan dengan baik. ia sudah kehabisan tenaga. Saya mulai panik. Kata-kata penyemangat yang saya lontarkan tetap tidak mampu membangkitkan semangat si ibu. Saya mulai putus asa. Dengan panik saya perintahkan keluarga untuk memanggil Pak Manik beserta mobil Pusling sebagai persiapan merujuk ke Bengkulu.

Akhirnya saya coba menenangkan diri dan menarik napas dalam seraya berkata dalam hati "pasti bisa!". Saya tatap mata perempuan yang sudah kepayahan itu dan dengan yakin berkata "ayo, kamu pasti bisa sayang. Kasian dedeknya udah kelamaan. Ayo, kamu pasti bisa". Dan sungguh menakjubkan, sugesti yang saya berikan entah kenapa membuat ibu muda itu kembali bersemangat. Ia mengejan dengan sekuat tenaga, beberapa kali hingga akhirnya kepala bayi keluar dengan sempurna. Sampai disana saya sudah lega luar biasa, karena tugas saya selanjutnya sudah jauh lebih mudah. Dengan tangan bergetar saya bersihkan mulut dan hidung bayi dan selanjutnya bahu atas dan bawah lahir dengan mudah. Bayi itu menangis kencang, disambut ucapan Hamdalah dari semua yang hadir di ruangan itu.

Di penghujung malam itu, selesai menjahit luka robekan paska melahirkan saya memandangi keluarga kecil berbahagia itu dengan perasaan haru. Kepada sang suami saya sampaikan bahwa istrinya adalah wanita yang luar biasa dan berpesan agar menjaga dan mendidik anak yang sudah Allah titipkan sebaik mungkin, menjadi anak yang sholih.

Malam itu menjadi salah satu malam terindah dan berkesan dalam hidup saya. Masih jelas teringat rasa haru dan syukur pada malam itu. Pertolongan Allah sangatlah dekat, bagi hamba-hamba-Nya yang yakin. Allah Maha Penyayang. Terima kasih ya Allah...