Senin, 23 Februari 2009

Bukit Pandang

Pada suatu sabtu yang cerah (panas, tepatnya), Mas mengajak Ewie ke salah satu objek (wisata?) yang sering dikunjungi, terutama oleh muda-mudi Sangatta. Lokasinya yang sepi sering menyebabkan tempat itu di salahgunakan untuk tempat pacaran. Ketika kami sampai di sana, terlihat sebuah bangunan kayu yang dinamakan Menara Pandang yang khusus disediakan oleh PT. Kaltim Prima Coal selaku “pemilik” tambang. Begitu naik terlihat beberapa pasang muda-mudi. Sebagian memang datang untuk melihat tambang dan sebagian lagi seperti  tidak tahu malu bermesraan layaknya suami istri.

Lokasi itu dinamakan Bukit Pandang, karena dari sanalah kita bisa memandang secara langsung area penambangan batu bara terbesar di Indonesia. Begitu memandang ke arah tambang, seketika Ewie terpesona. Bukan karena keindahan alamnya melainkan karena begitu gamblangnya proses penambangan terlihat dari lokasi itu. Area penambangan yang terlihat dari Bukit Pandang dulunya merupakan sebuah bukit yang kaya akan batu bara. Sekarang, setelah dilakukan eksplorasi bukit itu dinamakan Pit J, suatu open pit mining.

Open pit mining, dikenal juga dengan istilah opencast mining, open-cut mining dan strip mining, merupakan suatu metode penggalian batuan atau mineral dari bumi dengan cara memindahkan batuan dan mineral tersebut dari suatu lubang (pit) terbuka. Istilah tersebut digunakan untuk membedakannya dari metode penambangan dengan cara menggali terowongan ke dalam perut bumi. Open pit mining dipilih jika simpanan batuan dan mineral (misalnya batu bara) tersebut ditemukan dekat dengan permukaan bumi sehingga tidak perlu dilakukan penggalian terowongan.

Menurut yang Ewie tangkap dari penjelasan Mas, penambangan batu bara di Pit J dilakukan lapis demi lapis. Lapisan paling atas yang merupakan lapisan kaya akan unsur hara (soil) terlebih dahulu dipindahkan dan disimpan di tempat lain supaya bisa dimanfaatkan nantinya untuk reboisasi/restorasi. Bayangkan, memindahkan lapisan atas sebuah bukit pasti bukan pekerjaan mudah. Akan tetapi, kemajuan industri dan teknologi memudahkan segalanya termasuk dengan hadirnya kendaraan super berat ini :

Kelihatannya seperti truk biasa dengan ukuran biasa ya. Tapi coba bandingkan dengan mobil biasa seperti di bawah ini:

Besar! Truk dengan bobot 270 ton yang disebut haul truck atau dump truck inilah yang digunakan untuk membawa soil dan batu bara ke lokasinya masing-masing. Coba perhatikan mobil putih yang ada di belakang truk.  Tingginya hanya setengah dari diameter roda truk, kalau terlindas bisa rata dengan tanah. Makanya tidak sembarang orang dan kendaraan yang boleh masuk ke area tambang.

Setelah lapisan subur bukit dipindahkan seluruhnya, barulah lapis demi lapis tanah yang kaya akan batu bara digali sampai ke lapisan paling bawah. Penggalian batu bara dilakukan secara masif, 7 hari dalam sepekan dan 24 jam sehari. Luar biasa, dengan produksi batu bara sekitar 43 juta ton per tahun tidak heran Aburizal Bakri sempat menjadi orang terkaya nomor 1 di Indonesia. Dalam waktu kurang dari satu dekade habislah seluruh bukit berikut ekosistemnya dan terciptalah lubang-lubang besar yang kalau turun hujan akan terisi air dan terlihat seperti danau.

Pada detik ini, Ewie termenung. Betapa ‘teganya’ manusia pada alam sampai mengakibatkan kerusakan yang sangat besar. Padahal Allah telah memperingatkan akan ‘kejahatan’ manusia terhadap bumi dalam ayat-ayat-Nya yang mulia. Sayangnya manusia sering lupa atau pura-pura pula untuk mengingatkan diri dan beristighfar akan peringatan Allah tersebut.

Al-Qashash (28): 77
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagian dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Al-Maidah (5): 33
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar.”

Ar-Ra`d (13): 25
“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di muka bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang paling buruk (Jahannam).”

Al-A`raaf (7): 74
“Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum `Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu meraja lela di muka bumi membuat kerusakan.”

Al-A`raaf (7): 85
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka Syu`aib. Ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.”

Hud (11): 85
“Dan Syu`aib berkata: ‘Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan berbuat kerusakan.”

Asy-Syu`araa` (26): 183
“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan;”

Asy-Syu`araa` (26): 151-152
“dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan.”

Ar-Ruum (31): 41
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Al-Baqarah (2): 205
“Dan apabila ia berpaling (dari mukamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.”

Kalau sudah begini, kita hanya bisa berharap dan berdoa semoga pihak “pemilik” tambang sudah memiliki desain yang tepat untuk mengimbangi kerusakan yang telah mereka sebabkan. Wallahu a’lam

Rabu, 18 Februari 2009

Enjoying the day




Sore hari selain semilir angin di bawah pohon beringin tiada yang lebih nikmat selain yang satu ini

Selasa, 17 Februari 2009

Suatu Sore di Stasiun Gambir

Jakarta, 4 Januari 2009

Bismillah..

Hari itu adalah salah satu hari yang berkesan dalam hidupku. Bukan saja karena itu kali pertama aku mengikuti aksi palestina bersama suami sejak pernikahan kami satu tahun lalu, namun juga karena pertemuanku dengan seseorang.

***

Rangkaian acara aksi menentang agresi Israel di depan kedubes AS baru saja ditutup. Rasa pegal pada tungkai yang sepanjang aksi tidak dirasakan mulai memperberat langkah kami, namun kewajiban pada Yang Maha Pengasih tetap harus ditunaikan. Aku dan suami memilih untuk sholat di masjid terdekat yang bisa kami capai, masjid di Stasiun KA Gambir. Selesai menunaikan shalat Ashar waktu sudah menunjukkan pukul 17.30. Lamanya waktu tempuh pulang ke Bekasi sepertinya akan membuat kami melewatkan kewajiban lainnya, sholat magrib. Rasanya tidak mungkin menunggu munculnya semburat merah langit di masjid yang penuh sesak oleh jamaah yang sedang dan hendak menunaikan sholat. Bingung mau menunggu dimana, akhirnya kami memutuskan untuk singgah di sebuah kedai kecil dan memesan 2 mangkok mie rebus dan 2 botol minuman dingin. Tak lama menunggu, pesanan tersaji dan segera saja kami menyantapnya. Mmm..terasa nikmat memang jika perut sedang lapar dan badan terasa lelah.

“Kak, bagi uang donk..buat makan”, suara itu mengejutkanku. Aku kaget. Disampingku telah berdiri seorang gadis kecil , kurus, agak kumal dan berambut merah yang memandangku dengan wajah mengharap. Hh...aku sedikit menghela napas. Entah sejak kapan aku enggan memberi uang pada anak-anak yang mencari uang dengan cara mengemis. Aku sudah akan minta maaf tidak bisa memberinya uang ketika tiba-tiba aku teringat ada sebungkus “oreo” di tasku. Aku merogoh tas, mengambil sebuah biskuit dan menyerahkan kepada gadis itu seraya berkata “Kue aja yah”. Dan seperti yang kuduga, wajahnya langsung sumringah. Dengan sigap tangan kecilnya mengambil biskuit di tanganku. Aku berharap gadis itu akan segera pergi setelah kuberi biskuit, tetapi sebaliknya ia tidak beranjak satu langkah pun.

“Diputer…”, katanya dengan riang. “Dicelupin!”, spontan aku menyambung ucapannya. “Bukan kak! Diputer…dijilat…dicelupin”, ujarnya menirukan sebuah iklan biskuit tersebut di televisi untuk mengoreksiku. Mau tak mau hal itu membuatku tersenyum dan terdorong untuk berinteraksi dengannya. “Namanya siapa?”, tanyaku. Dengan cepat gadis kecil itu menjawab, “Pungki”.  Sambil terus menyantap mie rebus yang masih hangat, aku kembali bertanya, “Pungki sudah sekolah belum?”. Ia menjawab “sudah”  dan bercerita kalau ia sekarang duduk di kelas 1 di sebuah sekolah dasar tak jauh dari stasiun gambir. Tanpa kuduga, ia balik bertanya, “Mienya pedas ya?”. Mungkin karena melihat aku makan dengan lambat sambil menarik dan menghembuskan napas seperti orang kepedasan. “Oh nggak kok, mienya masih panas”, jawabku.

Dari perbincangan kami selanjutnya aku jadi tahu bahwa ia tinggal berdua dengan ibunya di sebuah gubuk tak jauh dari stasiun Gambir. Ayahnya sudah meninggal. Aku tertarik untuk bertanya, “Siapa yang suruh Pungki minta-minta?”. Gadis berambut merah seperti rambut jagung itu bercerita bahwa ibunyalah yang menyuruh ia minta-minta untuk biaya sekolah, tentu saja dengan bahasa kanak-kanak lima tahunan. Pungki terus saja berceloteh tentang berbagai hal termasuk bahwa ia sering ke makam ayahnya dan ia tidak takut berada di kuburan. Aku terus mendengarkan sambil meneruskan makanku dan sekali-kali mengangguk-angguk menandakan aku menyimak ceritanya. Suamiku yang sudah lebih dahulu menghabiskan mie rebusnya tampak turut menyimak cerita Pungki.

“Kuenya nggak dihabisin?”, tanyaku pada Pungki karena kulihat ia belum menghabiskan Oreo yang kuberi. “Iya..kuenya enak”, jawab Pungki sambil mengunyah Oreo tersebut. “Habis makan, sikat gigi ya” ujarku. “Habis makan, cuci tangan terus sikat gigi”, sahut Pungki. Aku kembali tersenyum mendengarnya. “Pungki jangan sering minta-minta ya, terus belajar yang rajin biar pintar”, nasihatku padanya walau aku tahu ia akan terus meminta-minta. “Iya…minta-minta itu ngga boleh”, jawabnya. Sejurus kemudian, tanpa berkata-kata Pungki tiba-tiba berlari pergi. Ups… aku kaget juga. Apa karena kata-kataku? Entahlah. Yah, setidaknya aku dapat segera menghabiskan mie rebusku.

“Sudah bersih!”, sebuah suara kembali mengagetkanku. Pungki sudah berdiri lagi di sampingku sambil memperlihatkan tangan dan gigi-giginya. Oo, ternyata gadis kecil itu hanya pergi untuk cuci tangan. Aku  tersenyum dan dalam hati berkata “Hm…anak kecil memang ibarat spons, dengan cepat menangkap informasi di sekelilingnya”. Entah kenapa, detik itu aku jadi merasa Pungki anak yang istimewa. Mungkin karena ia begitu mudah dididik. Mungkin juga karena ia tak seperti anak-anak pengemis lainnya yang agak ‘memaksa’ dalam hal meminta-minta. Seingatku,hanya sekali saja Pungki meminta uang padaku.

Tak berapa lama akhirnya aku selesai memindahkan semangkok mie rebus tersebut ke dalam perut  dan segera saja kuhabiskan teh botol dingin kegemaranku. “Itu makannya ngga dihabisin?”, tanya Pungki sambil menunjuk mangkok mie rebusku  yang hanya tersisa separuh kuning telur, sedikit mie dan kuah. Aku menggeleng. Dengan mata berbinar Pungki berkata “Buat Pungki aja ya?” Aku langsung terhenyak, untuk sesaat aku terdiam dan akhirnya lemas aku menjawab,  “Iya…boleh”. Pungki segera menyambar mangkok mie itu dan memakan isinya yang tidak seberapa. Aku terus menatap pemandangan yang belum pernah kusaksikan seumur hidupku itu dengan hati terenyuh sambil berpikir, sebegitu susahnyakah kehidupan Pungki dan anak-anak lain sepertinya? Aku goyah. Apa tepat pendirianku selama ini untuk tidak memberi uang pada anak-anak yang meminta-minta karena tidak mau turut mendidik mereka bermental pengemis? Apakah prinsipku memberi sedekah hanya untuk orang yang kelihatannya memang tidak mampu mencari nafkah sudah tepat?  Belum selesai aku berdebat dengan diriku sendiri, Pungki berkata “Ga pedes kok”. Oh, ternyata ia sudah menghabiskan isi mangkok mie rebus tadi. Aku kembali terenyuh. Apa kupesankan saja mie rebus untuk anak ini? Belum sempat aku memutuskan, tiba-tiba Pungki berkata dengan terburu, “Pungki pergi dulu ya”. Sekejab sebelum ia berlari pergi aku menangkap lirikan matanya ke arah belakangku. Aku segera menoleh ke belakang dan melihat seorang wanita bertubuh gemuk, berpenampilan sama lusuhnya dengan Pungki menggamit tangan gadis kecil itu dan membawanya pergi.

“Mungkinkah ibunya?”, tanyaku dalam hati. Ibu yang menyuruhnya meminta-minta agar dapat menafkahi hidup mereka berdua? Mungkin... Aku merenung, sampai saat akhir pertemuan kami Pungki tetap tidak mengulang untuk meminta uang. Lagi-lagi aku merasa Pungki adalah anak yang istimewa.

 Azan magrib bergema, aku dan suami segera beranjak ke masjid terdekat untuk menunaikan kewajiban kepada Yang Maha Pencipta.Yang menciptakan aku, Pungki, semua orang dan semesta alam. Yang tidak membeda-bedakan hamba-Nya berdasarkan kekayaan,kecantikan, jabatan, suku bangsa melainkan ketakwaan… Hari sudah mulai gelap ketika kami menaiki bus AC Mayasari Bhakti yang akan membawa kami pulang. Sepanjang perjalanan aku terus teringat pada Pungki sampai akhirnya suasana dingin, suara gitar dan nyanyian sumbang seorang pengamen mengantarkanku pada tidur lelapku.